Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, ESENSI DEBAT dalam Presfektif Al-Qur’an

OLEH : H. DJAMALULAIL M.PD.I

MARAKNYA tiga calon presiden (Capres) yang beradu gagasan dalam acara Debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Istora Senayan Jakarta pada ahad lalu, perlu kiranya kita memahami makna debat atau jadal. Al-Jurjani menyebut jadal sebagai perlawanan seseorang kepada musuhnya untuk menjatuhkan pendapatnya dengan argumentasi yang kuat maupun yang lemah.

Debat adalah cara manusia menjelaskan apa yang bergolak dalam hati, berupa emosi maupun perasaan, baik untuk memperlihatkan pemikiran atau membela kebenaran atau mengoreksi kesalahan atau mengarahkan pemahaman dan lain-lain.

Jadal atau debat itu sendiri merupakan tabiat yang melekat kepada gitrah manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an : “… Dan sesungguhnya manusia itu paling banyak mendebat” (Q.S. al-Kahfi/18: 54).

Karena jiwa manusia pada dasarnya cenderung membela diri dan mengutarakan maksud hatinya, bahkan manusia akan terus berdebat sampai hari kiamat. Sebagaimana Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur’an:Pada hari ketika masing-masing diri datang untuk membela dirinya sendiri…” (QS. an-Nahl: 111).

Dalam Islam, ada sejumlah etika yang perlu dipahami ketika berdebat. Umumnya, perdebatan muncul ketika ada pemikiran dan perbedaan pendapat. Apabila perdebatan tidak disikapi dengan baik, tujuan awal yang semula untuk berdiskusi justru berujung menjadi perselisihan. Karenanya, kaum Muslimin harus memahami etika saat berdebat.

Debat juga disebut sebagai metode dakwah Islam, namun perlu dipahami bahwa debat merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh, bukan untuk mengawali dakwah. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surah an-Nahl ayat 25. Artinya: (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh – penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.

Begitu sempurnanya agama Islam, dimana cara penyampaian informasi pun diajarkan dalam agama, Allah subhanahu wata’ala menurunkan Al-Qur’an untuk menyampaikan argumentasi kepada makhluk-NYA dalam bentuk yang paling indah, meliputi detail masalah, agar orang-orang awam dapat memahami dari keagungannya, apa-apa yang membuat mereka puas dan mematahkan hujjah, dan kalangan yang memiliki keterbatasanpun dapat memahami diantara celah argumentasi tersebut lebih dari apa yang dapat dipahami oleh yang lain.

Adapun etika berdebat dalam Islam, di antaranya adalah :
1. Menghadapi lawan bicara dengan tenang.
2. Memulai dengan prasangka baik atau husnuzan terhadap sesama
muslim. Hal ini penting, sebab jika diawali dengan rasa tidak
percaya maka kita akan selalu menolak apa yang dikatakan oleh
lawan debat.
3. Sabar.
4. Menghargai pendapat orang lain sejauh pendapat tersebut memiliki
dalil atau sumber-sumber yang kuat.
5. Tidak memaksakan kehendak bahwa pendapatnya yang paling
benar.
6. Lapang dada menerima kritik yang sampai untuk membetulkan
kesalahan.
7. Tidak sombong
8. Hendaklah memilih ucapan yang terbaik dan terbagus dalam
berdebat.
9. Tidak berkata kasar dan mencaci.
10. Mengusung semangat untuk menemukan yang lebih baik atau lebih
benar, bukan malah menjatuhkan.
11. Tidak mengharapkan pamrih apapun.
12. Akhiri dengan komitmen untuk menjalankan kebenaran yang
ditemukan bersama.

Dengan demikian, maka berdebat dapat menjadi sarana yang efektif untuk menemukan gagasan baru membangun negeri, mempererat tali persaudaraan, menjadikan Tanah Air tetap harmonis, hidup rukun, nyaman dan tentram. (***/goes)

Related posts

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, MENGENAL LAKI-LAKI & PEREMPUAN dalam Islam

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, UNCONDITIONAL LOVE (Cinta Ilahi)

Di Program Hikmah Masjid Istiqlal Jakarta, DR. ABDUL ROSYID TEGUHDIN M.PD Ulas Dua Karakteristik Umat Islam