Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, RELASI GURU – MURID (2)

OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA

PERJALANAN keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Musa mulai melihat keraguan di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu. Apakah ia tidak salah pilih guru. Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini.

Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya. Alangkah kagetnya Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Musa akhirnya bertanya, untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan itu setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja?

Mendengarkan pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.

Namun, sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada muridnya: “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. al-Kahfi (18): 79).

Sedangkan pembunuhan anak kecil dijelaskan: “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. al-Kahfi (18): 81).

Penjelasan terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu: “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. Sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan, bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. al-Kahfi (18): 82).

Nabi Musa AS hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya, Nabi Musa AS sadar bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan yang dilakukan dengan cara-cara pengajaran konvensional.

Belajar kearifan ternyata tidak mesti membutuhkan media yang lengkap. Pelajaran kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun-naiknya nafas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati. Selamat belajar! (***/goes)

Related posts

KKN di Rumah Ibadah, UNIVERSITAS IBNU CHALDUN JAKARTA Bikin Seminar Tema ‘Manajemen Keuangan Masjid’

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, ‘RELASI TUHAN & HAMBA’

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, SELAMAT BERTUGAS Para Pemimpin Negeri