OLEH : USTADZ DR ONI SAHRONI MA
KAJIAN ini akan mengkaji beberapa bahasan kontemporer seputar qurban yang mungkin terkait langsung dengan bahasan utama kita yaitu mengenai biaya operasional qurban, diawali dengan berqurban untuk yang sudah wafat, apakah boleh?
Misalnya Pak Ahmad, berqurban untuk almarhum bapaknya atau almarhumah ibunya, merujuk kepada pendapat Imam Ahmad Ibnu Hambali dan Imam Hanafi, maka bisa disimpulkan berqurban untuk sudah yang wafat seperti Pak Ahmad berqurban untuk almarhum ayahnya itu boleh dicatat oleh panitia yang berqurban adalah almarhum, landasan dan dalilnya yang pertama adalah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَلَهُ: مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: – أَمَرَ بِكَبْشِ أَقْرَنَ, يَطَأُ فِي سَوَادٍ
وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ, وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ لِيُضَحِيَ بِهِ, فَقَالَ: إِشْحَذِي الْمُدْيَةَ, ثُمَّ
أَخَذَهَا, فَأَضْجَعَهُ, ثُمَّ ذَبَجَهُ, وَقَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ
مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمَّةٍ مُحَمَّدٍ
Dan diriwayatkan juga olehnya (al-Imam Muslim) dari hadits Aisyah radhiallahu anha: Beliau (Nabi) memerintahkan domba jantan yang bertanduk, hitam pada kakinya, hitam pada perutnya dan hitam di sekitar matanya dipersiapkan untuk beliau sembelih (sebagai qurban).
Beliau bersabda: “Asahlah pisaunya.” Kemudian beliau mengambilnya, membaringkan domba jantan itu kemudian menyembelihnya. Beliau mengucapkan: “Bismillah, Allahumma Taqabbal min Muhammad wa Aali Muhammad wa min Ummati Muhammad (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad).”
Dalam penggalan hadist ini setelah Rasulullah menegaskan bahwa ia berkorban ya kemudian berdoa wahai Ya Allah Terimalah qurban ini dari dariku dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad. Nah sebagian ahli hadist seperti Asyaukani menjadikan hadis ini sebagai sumber hukum kesimpulan bahwa berqurban untuk yang sudah wafat itu dibolehkan karena saat Rasulullah mengatakan terimalah ini dari umat Muhammad, maka yang sudah mungkin di antara keluarganya atau yang disebut itu ada wafat.
Kemudian yang kedua disimpulkan bahwa berqurban untuk yang sudah wafat tidak hanya boleh tidak hanya jaiz tidak hanya mubah tetapi prioritas yang menjadi pilihan. Bapak Ibu semuanya kenapa naik kelas dari boleh menjadi prioritas? karena itu bagian dari bakti kepada orangtua ‘Birul Walidain’ jika yang wafat itu adalah ayah ibu kita jadi salah satu bentuk birul walidin adalah kita berqurban untuk kedua orang tua yang sudah wafat.
Bahasan berikutnya yaitu kita berqurban dengan cara transfer misalnya Ayah atau Ibu punya anak di pesantren di Madrasah Aliah kelas 3 sebelum menutup pendidikan di pesantren tersebut di momentum Adha ini ia berkorban atas nama anaknya di pesantren tersebut kambing Rp 3.500.000, lalu bagaimana caranya?
Karena jaraknya jauh la pun mentransfer melalui mobile banking dengan memasukkan rekening yang dituju, memasukkan angka Rp 3.500.000, dikasih catatan dalam keterangan ini untuk qurban anak kami, fulan bin fulan atau fulanah binti fulan, pada saat diklik transaksi berhasil resi dikirim ke pihak panitia, apakah transaksi ini sah?
Walaupun uang fisik tidak diserahterimakan kepada panitia? Di mana ijab kabul yang selama ini kita persepsikan bagian dari akad. Apakah sudah dianggap berqurban sejak transfer atau harus menunggu qurbannya disembelih baru dikatakan berqurban?
Bapak Ibu sekalian, disimpulkan dua hal bahwa berqurban dengan cara transfer atau dengan ilustrasi tadi orangtua berqurban untuk anaknya di pesantren itu sudah sah, boleh (jaiz) dan mubah dan bahkan qurbannya sudah dikategorikan ditunaikan sejak transfer, karena ini dikategorikan ijab kabul dan tasalum dan Taslim.
Bapak Ibu kalau kita berjualan atau kalau kita membeli sesuatu yang keluar dari dompet kita uang kemudian kita mendapatkan barang yang dibeli, seperti kalau kita masuk tol menggunakan etol menggunakan e-money, jika nominal feenya 12.000 kemudian kita bisa menikmati perjalanan tol.
Begitu pula yang kita berobat dengan 50.000 misalnya kita bisa konsultasi Kesehatan, itu semua menurut fatwa DSN MUI, dan Standar Syari’ Internasional di Bahrain, Lembaga Fikih Rabitah Alami Islami di Mekkah, dan Organisasi Konferensi Internasional di Jeddah, bahwa transfer itu sudah menunjukkan ijab kabul dan serah terima non fisik atau ‘attaqabud alhukmi’.
Jadi walaupun uangnya tidak diserahterimakan, walaupun uangnya tidak sama-sama dilihat oleh pengqurban dan panitia maka itu sudah menunjukkan tasalum dan taslim, atau sudah diserah terimakan, kenapa?
Karena ijab kabul itu manat maqasid targetnya adalah bahwa pengqurban dan panitia qurban itu sama-sama paham bahwa yang ditransfer itu untuk qurban bahwa pengqurbannya si A bahwa qurban ini atas nama fulan, kenapa? karena serah terima sudah terealisasi sudah tercapai/ sudah terwujud karena manat maqasid pesan dari serah terima ini adalah perpindahan kepemilikan transfer of ownership sebagai padanannya.
Terkait dengan serah terima nonfisik ini, kiranya kita menjadi nasabah Bank Syariah pada saat registrasi menjadi nasabah, kita meminta untuk dilakukan notifikasi melalui SMS setiap kali ada uang masuk atau keluar, itu ada pemberitahuan debit dam kredit.
Sekiranya kita merujuk kepada Standar Syariat Internasional tadi, maka notifikasi debit kredit yang muncul di gadget kita itu sudah menunjukkan alqaid almasrafi, berarti sudah terjadi serah terima, persis seperti kalau kita membeli properti rumah dijonggol, sementara penjual di Ciamis, pembelinya di Serang yang diserah terimakan SHM rumahnya, itu namanya serah terima non fisik jadi sudah sah terjadi perpindahan kepemilikan. © (Bersambung/Goes)
(PENULIS : Ustadz Dr Ini Satroni MA adalah Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), tinggal di Jakarta)