Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, MENUJU FANA’ & Baqa’

OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA

PUNCAK pencapaian para salik ialah fana‘ dan baqa‘. Jika orang sudah sampai ke tingkat fana’ kesadaran sensorial sudah hilang sama sekali. Ia seperti dalam keadaan “mabuk spiritual” (mahwu). Ia sama sekali tidak menyadari keberadaan dirinya sebagaimana layaknya orang pingsan.

Ia telah mengalami proses “penghancuran” dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam ‘Diri Tuhan‘ dan sering kali diiringi oleh suasana batin yang disebut dengan baqa‘, yakni suasana keabadian batin yang merasa terus hidup (remain, persevere).

Bagi orang yang sudah sampai tingkat fana‘ sering terucap kata-kata yang agak aneh (syathahat), tidak umum didengar, seperti ungkapan sufi berikut ini: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-NYA melalui diri-NYA, maka aku pun hidup … Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada diri-NYA dan aku pun hidup.

Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup.” Ungkapan-ungkapan seperti ini banyak ditemukan di dalam buku-buku tasawuf.

Untuk sampai ke makam fana’ memerlukan waktu dan perjuangan yang mungkin tidak singkat karena harus melewati terminal – terminal standar sebagaimana disebutkan di dalam makam-makam terdahulu (lihat kembali artikel penulis di harian ini).

Para salik juga betul-betul harus konsisten, seolah mewakafkan sepanjang hidupnya untuk menjadi salik. Tidak bisa mendaki ke puncak tertinggi ini jika tujuannya hanya ingin mencoba-coba saja. Namun, jika Tuhan menghendaki seseorang bisa saja sampai ke makam ini tanpa memerlukan perjalanan panjang.

Makam ini sangat langka. Pada salik umumnya memerlukan persiapan khusus dan keseriusan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke puncak. Tidak bisa hanya dengan motif ingin mencoba atau penasaran sehingga ia berusaha mencapai makam ini.

Pada umumnya orang yang sampai ke makam ini justru tidak pernah membayangkannya. Keikhlasan dan ketulusan yang dijalankan dengan penuh istiqamah, itulah yang menjanjikan makam puncak seorang salik.

Memang banyak jalan untuk mencapai puncak spiritual. Namun, semakin tinggi tingkat pencapaian semakin memerlukan pembimbing (mursyid) yang tentu saja lebih tinggi pula karena situasi di puncak banyak faktor pengecoh yang perlu diwaspadai. Tidak sedikit orang mendaki ke puncak, tetapi terpeleset ke jurang hingga hancur. Ibarat pendaki gunung, harus menguasai ilmunya untuk sampai puncak.

Kelihatannya mudah, gampang, tetapi penuh dengan bahaya. Orang bisa jatuh kepada kemusyrikan, bahkan ke kemurtadan, terutama jika ia frustrasi dan tidak sabar.

Seseorang harus banyak melakukan latihan (riyadhah) terus-menerus. Salah satu riyadhah rutin yang bagus dan selalu dilakukan oleh para salik ialah shalat Tahajud dengan penuh kesungguhan mengesampingkan seluruh pikiran duniawi lalu fokus dan pasrah total kepada Allah subhanahu wata’ala.

Makam baqa‘ lebih tinggi lagi dan sudah merupakan kelanjutan dari fana‘. Jika fana, seseorang sudah sampai ke puncak kesadaran sensorial sehingga ia sudah merasa hilang sama sekali, ia seperti dalam keadaan pingsan atau “mabuk spiritual” (mahwu), maka baqa’ akan muncul menjadi fenomena berikutnya jika kefanaan itu sudah terkendalikan atau terkontrol (sahwu).

Ada orang bisa menentukan kapan dan di mana ia akan melakukan suasana batin fana‘ dan berapa lama ia akan mengalaminya, ia sudah mampu mengontrolnya. Orang seperti ini sudah sampai ke tingkat baqa’. Dengan kata lain, semua orang baqa‘ pasti fana‘ tetapi tidak semua orang yang fana‘ adalah baqa‘. Tentu saja suasana batin baqa‘ lebih tinggi dari pada fana.

Fana‘ dan baqa‘ memiliki banyak persamaan, bahkan kedua istilah ini sering disamakan atau disebut baqa’ adalah fana‘ tingkat tinggi. Yang jelas keduanya memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu berada dalam keadaan mabuk spiritual (sahwu). Keduanya telah mengalami proses “penghancuran” dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam Diri Tuhan.

Baqa‘ terlihat manakala frekuensi suasana keabadian batin lebih sering dari biasanya. Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi; fana‘ merasuk ke dalam siri seseorang dan baqa‘ berusaha mememanenkan pengalaman batin tersebut.

Dalam istilah tasawuf dikatakan: Man faniya’an jahlihi baqiya bi ‘ilmihi (Jika kejahilan hilang maka yang tinggal ialah pengetahuan), man faniya ‘an al-aushaf al-madzmumah baqiya bi al-aushaf al-mahmudah (Barang siapa yang menghancurkan akhlak buruknya yang tinggal ialah sifat baiknya). Lebih lanjut nanti akan tiba dalam suatu tahapan: man faniya ‘an aushafih baqiya aushaf al-Haq (Barang siapa yang menghilangkan sifat – sifatnya, maka ia mempunyai sifat-sifat Tuhan).

Fana‘ dan baqa‘ termasuk lorong-lorong rahasia menuju Tuhan. Ekspresi dan pengalaman fana‘ dan baqa‘ tentu tidak identik satu sama lain, tapi secara prinsip memiliki kesamaan satu sama lain. Dalam dunia tasawuf dikenal sejumlah tokoh dengan spesifikasinya masing-masing.

Mereka masing-masing membuat istilahnya sendiri, tetapi maksud dan tujuannya tidak jauh beda dengan lainnya. Perbedaannya terletak pada penekanan dan praktik riyadhahnya. Implementasinya nanti terlihat dalam dunia tarekat, kelihatannya banyak aliran, tetapi satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Allahu a’lam. © [***/goes]

Related posts

Tak Sekadar Ritual Tahunan, KHUTBAH USTADZ SAEFUL AZIZ: Idhul Adha Teladan Ikhtiar & Tawakal Nabi Ibrahim bagi Keluarga

Khutbah di Masjid Istiqlal, DR H MUH YAHYA AGIL MM Bahas Soal Hikmah Ibadah Qurban Bagi Kaum Dhuafa

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA di Bulan Dzulhijah