OLEH : ALFAQIR AHMAD MULYADI
BELAJAR dari kesalahan diri sendiri adalah guru terbaik, agar terhindar dari kesalahan lainnya. Mungkin pernah terjadi, karena satu kesalahan yang terjadi “satu jari menunjuk kepada orang lain, padahal tiga jari selebihnya sedang menunjuk dirinya sendiri”.
Terkadang kenyamanan membuat seseorang sulit untuk cepat sadar dan berbenah dengan membuka diri dan berintrospeksi. Cubitan akan membuat seseorang terbangun, atau onak duri dan pahitnya kehidupan yang akan menjadi cambuk pemicu kesuksesan, sehingga berangsur akan menjadi indah pada waktunya.
Bukankah, pola pikir yang sempit tidak akan membuka jalan yang luas, tetapi pikiran yang luas membuka jalan sekecil apapun untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Seorang sufi besar, Jalaluddin al-Rumi, pernah berkata: “Kemarin aku adalah seorang cerdik-pandai, maka aku ingin mengubah dunia. Tapi kini, aku seorang yang bijaksana, karena itu, aku akan mengubah diriku sendiri”.
Suatu yang besar bermula dari suatu yang kecil. Perubahan sosial tidak mungkin terjadi tanpa perubahan kultural, dan perubahan kultural mustahil terjadi tanpa perubahan individual. “Bisa dikatakan, perubahan individual adalah induk dari segala perubahan. Dan itu adalah teladan”. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mulailah dari dirimu, kemudian kepada orang yang di bawah tanggung jawabmu” (HR. Ahmad dan Muslim).
Kebaikan tidak menunggu momentum, tapi kapan dimulai. Sudahkan memulainya dari diri sendiri untuk menjadi manfaat, sehingga kemudian memberi manfaat kepada yang ada di bawah tanggung jawab kita.
Kebajikan walau sedikit yang dilakukan berkelanjutan atau istiqamah akan membentuk karakter pelakunya, sangat tampak natural karena tumbuh dan berkembang atas kesadaran dan inisiatif yang tulus, akan awet dan langgeng.
Lain halnya dengan pencitraan yang hanya kamuflase di balik topeng ketulusan yang penuh kebohongan, memanipulasi realitas yang tidak nyata dalam diri seseorang, sehingga hilang jati diri sejatinya yakni kejujuran, yang tidak akan konsisten
apalagi mempengaruhi perbaikan dan perubahan positif terhadap orang di sekitarnya.
Maka sulit dipercaya, bagaimana orang lain akan mempercayainya. Bisa jadi seseorang duduk bersanding akrab dengan orang lain tapi dia tidak pernah mempercayai orang disebelahnya, karena dia sendiri tidak pernah yakin dan mempercayai keberadaan dirinya sendiri.
Setiap kebohongan akan menutupi kebohongan serupa, dan terjebak dalam keniscayaan. Ungkapan peribahasa “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak”.
Bila ada seseorang dengan penuh keyakinannya pernah bercita-cita ingin mengubah dunia, tapi dia gagal. Selanjutnya dia menurunkan standar, ia ingin mengubah bangsanya menjadi lebih baik, dan dia gagal juga.
Lalu menurunkan standarnya lagi, lalu ingin merubah orang disekitar lingkungannya juga gagal. Lalu akhirnya ingin merubah keluarganya lebih baik di saat menjelang akhir hayatnya.
Bahkan akhirnya saat berada di pembaringan dimana ajal akan menjemputnya ia berkata : “Seandainya dulu saya memulai dengan mengubah diri saya sendiri, darinya selanjutnya bisa merubah keluarga, warga dimana saya tinggal dan bahkan akan merubah bangsa ini.”
Maka selama hayat masih di kandung badan, dan ajal belum menjemput. Sejatinya untuk memulai perubahan menuju kebaikan yaitu dari diri sendiri. Sederhananya “Ibda binafsika”, mari memulai sesuatu dari diri kita sendiri, mulai dari keluarga, dan seterusnya.
Saat kita belum mampu memberi atau berbagi kepada orang lain jangan halangi orang lain untuk berbagi. Bila tidak bisa memuji orang lain, jangan kita mencela terlebih menyakitinya.
Bila kita tidak bisa menyelamatkan orang lain dari keburukan, maka jangan menyesatkan. Jangan pernah bosan berfikir dan berkarya yang positif. Waktu yang akan menjawabnya. Wa Allahu
a’lamu bis shawab. © [***/goes]