Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, EPISTEMOLOGI MAKRIFAT (2)

OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA

MENINGKATNYA  gerakan sufisme di berbagai tempat menandakan adanya ketidakpuasan manusia terhadap capaian ilmu pengetahuan selama ini. Paling tidak kehausan intelektualitas manusia ternyata tidak mampu dipuaskan oleh ilmu pengetahuan (ilm).

Manusia menginginkan lebih dari sekadar ilmu yang hanya mampu memberikan kepuasan logika. Kepuasan sejati hanya dapat dirasakan manakala menyentuh aspek hakiki dari manusia yang namanya kepuasan batin. Justru, kepuasan batin inilah yang kemudian mendatangkan kesadaran kemanusiaan yang lebih tinggi.

Untuk bisa sampai pada tingkat kepuasan batin ini dibutuhkan pengetahuan tingkat tinggi yang biasa disebut dengan makrifat yang sesekali disebut irfan atau dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan mukasyafah.

Mukasyafah berarti penyingkapan tabir-tabir (hijab) yang selama ini menghijab manusia untuk mengakses sebuah dunia yang agung, dimana manusia bisa meraih kepuasan yang luar biasa.

Epistemologi makrifat lebih dari sekadar menempuh epistemologi keilmuan biasa. Persyaratan yang harus ada di dalam menggapai tingkat makrifat al-Qusyairi ialah penyucian diri dari berbagai dosa dan maksiat, bersih dari urusan dan ketergantungan dunia, terus – menerus bermunajat di hadapan Allah dengan cara sirri, selalu memelihara kelembutan jiwa dan budi pekerti, serta penuh pengendalian dan mawas diri.

Bagi orang yang mencapai tingkat mukasyafah (penyingkapan), ia akan berada pada tingkat musyahadah (penyaksian kepada zat Yang Mahamulia). Dalam keadaan seperti ini, manusia bisa memperoleh kepuasan intelektual hakiki yang tak terlukiskan.

Rawaim Ibnu Ahmad pernah menggambarkan orang yang mencapai tingkat makrifat bagaikan seorang menyaksikan cermin. Jika ia melihat cermin itu, akan tampak jelas Tuhan-nya. Zummun al-Mishri melukiskan orang-orang yang bergaul dengan penerima makrifat seperti orang-orang bergaul dengan Allah subhanahu wata’ala.

Menurut al-Hallaj, “Jika seorang hamba telah sampai kepada makrifatullah, Allah akan membisikkan kepadanya dengan melalui hatinya dan menjaga hatinya dari kata hati yang tidak benar.”

Abu Yazid al-Busthami pernah ditanya perihal orang yang mencapai makrifat, ia menjawab, “Orang arif adalah penerbang dan orang zuhud itu pejalan kaki.” Selanjutnya, ia menambahkan, “Ketika ia tidur ia tidak melihat selain Allah, ketika ia terjaga ia tidak melihat selain Allah, ia tidak beribadahnselain kepada Allah.”

Untuk urusan lebih teknik untuk memperoleh makrifat, Ahmad Ibnu Atho’ berkomentar: “Makrifat itu memiliki tiga rukum, yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang kepada Allah”.

Jadi, memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat. Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrifat ialah kebersihan batin.

Untuk itu, penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan keindahan batin (tamwir al-qulub) serta niat yang tulus merupakan persyaratan mutlak yang harus diwujudkan di dalam diri murid.

Pada dasarnya, manusia itu memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat. Hanya, mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial sehingga mereka perlu berzikir (mengingat kembali).

Ayat yang sering dilibatkan kelompok ini, antara lain, fasalu ahl al-dzikir inkuntum la ta’lamun (Bertanyalah kalian kepada ahli zikir jika kalian tidak tahu); Afala tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?); dan Aqim al-shalali dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku).

Kelompok ini mengedepankan penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tasawwuf dan tazkiah untuk menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir.

Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren.

Ketawadhuan seorang murid dan kesantunan seorang guru atau
kiai adalah adanya tradisi keluhuran dalam proses pencarian ilmu pengetahuan.

Ini sejalan dengan ayat: “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat.Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat. Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. al-Baqarah/2:151). ® [***/goes]

Related posts

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, ‘RELASI TUHAN & HAMBA’

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, SELAMAT BERTUGAS Para Pemimpin Negeri

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, HIDUP-MATINYA Sebuah Rezim