OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
KELAHIRAN dan kematian tak hanya dialami oleh perorangan, tetapi juga oleh sebuah rezim, umat, bangsa atau komunitas masyarakat lainnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “… setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila telah datang ajal, mereka tak dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan-(nya)” (QS. Yunus/10: 49).
Panjang pendeknya umur suatu rezim, menurut Ibnu Khaldun, bergantung pada empat generasi, yaitu generasi perintis, generasi pembangun, generasi penikmat, dan generasi penghancur. Siklus sebuah rezim banyak ditentukan oleh generasi penikmat.
Jika generasi ini mampu memelihara sendi-sendi ideal rezimnya, rezim tersebut akan mampu bertahan dan berumur panjang. Sebaliknya, jika sendi – sendi itu tidak lagi diindahkan, lahirlah generasi penghancur yang akan mengakhiri kejayaan rezim tersebut.
Panjang pendeknya umur sebuah rezim ditentukan seberapa besar rezim tersebut mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah subhanahu wata’ala, “Sesungguhnya, jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian. Dan, jika kalian mengingkarinya, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim/4: 7).
Rezim yang tidak pandai bersyukur ialah mereka yang mengingkari karunia yang telah Allah SWT anugerahkan kepada mereka. Rezim seperti itu dalam Al-Quran diancam dengan tegas, “…dan jika kalian mengingkarinya, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim/14: 7).
Rezim yang kufur nikmat banyak dicontohkan kisah-kisah umat terdahulu yang tercantum dalam Al-Quran. Rezim yang hancur karena kufur itu. Antara lain hancurnya umat Nabi Luth karena gempa bumi, umat Nabi Nuh yang punah dengan banjir tsunami, umat Nabi Saleh dengan penularan virus binatang kepada manusia dan penderitaan sejumlah kaum durhaka karena paceklik dan kekeringan yang berkepanjangan.
Azab Tuhan juga bisa muncul dalam bentuk merebaknya rasa takut dan cemas karena tumbuh suburnya tingkat , penyebaran wabah penyakit menular atau peperangan antarkaum yang mengorbankan orang-orang yang tak berdosa.
Kufur nikmat bisa pula muncul dari pemimpin rezim atau rakyat. Jika pemimpin tidak lagi mengindahkan hak dan kewajibannya terhadap rakyat, pemerintahan akan dijalankan secara zalim dan otoriter. Sementara rakyat tidak henti-hentinya mengintip kesalahan pemimpin, lalu mendramatisasinya sedemikian rupa sehingga terjadi chaos dan anarkisme. Ini semua adalah contoh kufur nikmat.
Semua pihak harus mengintrospeksi diri, apa yang sesungguhnya dicari dalam kehidupan ini. Masyarakat tidak mungkin memaksa pemimpinnya menjadi malaikat tanpa kekhilafan. Sebaliknya, pemimpin juga tidak bisa mengharapkan bangsa Tuhan’ yang berpenduduk laiknya malaikat. Ingat firman Allah, “… tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” (QS. Yunus/12: 32). ® [***/goes]