10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika

OLEH : FERDINAND L TOBING

STOP Exploitasi BUMN Jadi Sapi Perah Oknum Pengurus Organisasi Media Mainstream Konstituen Dewan Pers”

Selama 10 Tahun di Era Kepemimpinan Jokowi, Pers Nasional mengalami transformasi masif dari lembaga sosial menjadi konglomerasi media sehingga kadangkala mengabaikan etika dan filosofi dunia pers melalui pengembangan bisnis hampir disegala bidang bisnis media.

Media watch Swararesi selama satu dekade menemukan beberapa penyebab antara lain disamping UU Pers 40/1999 sudah perlu direvisi, ditemukan insan Dewan Pers terlalu disibukkan urusan penyelenggaraan UKW yang seharusnya masuk program Minor menjadi Mayor padahal UKW metode pelatihannya sudah tidak relevan dengan perkembangan disrupsi dibidang Digital dan Artificial Inteligent serta UKW tidak berlisensi BNSP.

Diduga hal ini disebabkan penyelenggaraannya menjadi Cash Cow atau sumber dana baik untuk organisasi maupun oknum pengurus/narasumber.

Puncaknya dengan adanya kejadian yang sangat memprihatinkan dugaan penggelapan dana sponsorship (cashback) dari BUMN senilai beberapa milyard sehingga menimbulkan konflik struktural diorganisasi wartawan tertua di Indonesia berakibat Ketua Dewan Pers Dr. N.S (ex.Komisioner Ombudsman RI) “mengusir” Ketua Umum PWI HCB (ex. Jurnalis Senior Kompas) agar tidak berkantor di Gedung Dewan Pers terhitung 1 Oktober 2024.

Kejadian ini merupakan puncak gunung es di dunia pers Nasional merupakan bukti bahwa pers Nasional tidak baik-baik saja, diduga ada gangguan struktural secara kelembagaan akibat penyimpangan filosofi pers yang diamanatkan di UU Pers 40/1999, apalagi untuk pengucuran dana BUMN melibatkan Presiden dan Menteri BUMN diduga tidak prosedural. (Mal administrasi) yang masih perlu diklarifikasi.

Masih banyak lagi temuan yang perlu disikapi untuk

REKOMENDASI:

  1. Revisi UU Pers 40/1999 Khususnya Untuk Pasal 17 Diperluas Untuk Pembentukan Dewan Pengawas dan Dewan Etik Dilingkungan Lembaga Pers cenderung powerful & Esklusivisme
  2. Pemerintah dalam hal ini Kemenkomdigi perlu dievaluasi effektifitasnya fasilitasi Dewan Pers.
  3. Penyelenggaraan Uji Kompetensi Wartawan harus merujuk UU BNSP/berlisensi BNSP.
  4. Ketua Dewan Pers bukan dari Tokoh Masyarakat tapi harus dari Tokoh Pers Senior dan Teruji.
  5. Fungsi Polisional Dengan Ambil Alih Penerimaan Proses Awal Pengaduan Dugaan Pidana Pers Harus Dilengkapi Infrastruktur dan Kajian Akademis Agar Tugas Dewan Pers Tidak Lamban.
  6. Organisasi Pers Konstituen Dewan Pers Tidak Dibatasi Hanya dari Media Terverifikasi/Esklusif.
  7. Kegiatan kegiatan pemberian Award dan Penghargaan Untuk Tokoh Publik & Instansi Pemerintah/BUMN dihapuskan karena akan mengurangi fungsi media sebagai watch dogs.
  8. Ketua Dewan Pers harus terbuka menerima masukan dari Mediawatch tidak blokir WA sepihak.
  9. Menteri Komdigi sebaiknya memfasilitasi FGD secara periodik dengan melibatkan pihak pihak yang berkepentingan dibidang pers termasuk yang belum menjadi konstituen dewan pers.
  10. Otonomi diperluas dari Mediawatch agar lebih independent bukan subordinate Dewan Pers.
  11. Optimasi Pengawasan Dewan Pers Ke Perusahaan Pers Hindari Iklan Jumbo Korban Masyarakat. ® [***/goes]

[PENULIS : Ferdinand L Tobing adalah Direktur Media watch SMP Dirgantara]

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

Berkat Presiden RI Prabowo & Pj Teguh Setyabudi, MARULLAH MATALI Kembali Duduki Posisi Penting Jadi Sekda DKI Jakarta