Dari situ, dominankah jika dilihat satu persatu perilaku atau tindakan seseorang yang mengacu pada sifat atau wataknya? Terkandang akibat pengendalian diri yang kurang, maka seseorang itu menjadi pemarah atau muncul rasa benci alias tidak suka yang berlebihan (pembenci akut).
Padahal, jika saja seseorang masih dalam kendali diri, bermain dalam pola pikir positif dan hati bersih, tak sampai harus menjadi pembenci akut terhadap orang lain. Tapi, kenapa hal tersebut, bisa menimpa maupun muncul dalam diri seseorang atau siapa saja dalam kehidupannya?
Sejatinya, tak ada yang salah apabila diri kita suatu saat muncul perasaan tidak suka (benci) kepada orang lain. Sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dalam sebuah lingkungan tempat tinggal, kantor maupun dalam sebuah wadah atau lembaga – jelas sah-sah saja dan kadang bisa disebut sebagai sesuatu hal yang sangat manusiawi.
Tapi terhadap munculnya rasa benci (pembenci akut) itu sendiri, apa dasarnya? Pernahkah seseorang yang kita benci, misal melakukan penghinaan secara fisik atau non fisik, pamer kekayaan (rumah/mobil), merampas hak-hak kita, memperlakukan lewat sikap merendahkan, sehingga diri kita tak bisa menerimanya atau tersinggung dan memelihara kemarahan atau rasa benci.
Atau, boleh jadi karena kemampuan kita dalam menilai – berasumsi – memandang sesuatu didasari hal yang kurang wajar, maka rasa benci itupun akhirnya mencuat secara berlebihan. Lantas, patutkah diri kita sebagai makhluk sosial dan beragama, kemudian memiliki sikap pembenci akut.
Biasanya malah berbanding terbalik. Dari diri kita yang tak biasa ramah kepada setiap orang, ogah berdiskusi, hanya ego terhadap pencapaian diri sendiri, akhirnya cenderung seperti mendapat tekanan psikologis. Akibatnya daya nalar berpikir kita, jauh dari kesan menjunjung etika dan adab dalam bermasyarakat (sosialisasi) di lingkungan tempat tinggal.
Seyoganya memang saat kita dihadapan pada pencapaian usia yang sudah melewati kepala ‘4‘ atau memasuki separuh abad (50 tahun), sudah harus mengenali atau mau belajar soal keagamaan. Jangan sampai sudah menjadi tua, terus diri kita memelihara sikap/karakter dasar yang cenderung buruk itu tadi.
Dalam kacamata hukum pun, setiap manusia itu ‘dilindungi‘ aturan norma dan hukum. Begitu pun, jika perbuatan kita melanggar, tentu ada implikasi hukumnya. Dasar kepemilikan ilmu sosial kemasyarakatan, hukum serta termasuk agama – jelas tak boleh diabaikan begitu saja bagi seseorang.
Sementara melalui kacamata agama, jika diri kita mau belajar lewat majelis taklim atau ceramah-ceramah ustadz – kyai – habib, sikap pembenci akut (berlebihan) juga merupakan dosa jariyah yang bakal ada hisabnya nanti setelah kematian. Kenapa? Karena, seseorang itu telah mengunci hatinya lewat kebencian yang berlebihan. Atau, boleh jadi juga karena hatinya bagai sudah ‘mati‘.
Pintu ‘hidayah‘ bagi seseorang itu hampir tak pernah tertutup! Sebab, seseorang yang memiliki watak pembenci akut (berlebihan), justru bisa disebut sebagai orang yang ‘merugi‘ dalam konteks agama. Merusak hati dan jiwanya sendiri! Sepertinya, tak fokus dalam urusan pembenahan bagi keluarganya sendiri.
Hanya repot mengurusi persoalan orang lain, apalagi sampai membawa seluruh keluarga atau mengajak orang lain untuk sama-sama membencinya. Naluri dan kesadaran berpikirnya, nyaris tak bisa merekam hal apa saja bentuk kebaikan yang dilakukan oleh seseorang yang dibencinya. Naudzubillahi Min Dzalik!!! (***)
(PENULIS adalah Agus Santosa, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, sedang belajar di bidang keagamaan dan wartawan senior, kini tinggal di Bekasi)