OLEH : MUTAWAKKIL ABU RAMADHAN II
DI ZAMAN keemasan Islam, tidak dikenal dikotomi antara “negeri” dan “swasta” dalam layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Semua institusi berakar pada semangat wakaf—sebuah sistem sosial-ekonomi berbasis partisipasi umat, bukan kontrol negara. Pesantren, madrasah, universitas, rumah sakit, hingga pasar—seluruhnya tumbuh dari kedermawanan umat yang tercerahkan, bukan dari otoritas kekuasaan.
Prinsip dasar peradaban Islam adalah independensi rakyat dalam tiga sektor utama: ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Negara tidak bertindak sebagai regulator tunggal apalagi sebagai pemilik, tetapi hanya sebagai pelindung keadilan dan penjamin keamanan. Fungsi negara dalam Islam bersifat khidmah (melayani), bukan tasalluth (menguasai).
Sebaliknya, ketika nasionalisme—ideologi sekuler warisan kolonial—mengakar pasca keruntuhan Khilafah, fungsi negara berubah menjadi leviathan yang mencengkeram setiap lini kehidupan umat. Wakaf digeser, digantikan oleh sistem “negara mengatur segalanya”, termasuk lembaga pendidikan dan rumah sakit. Maka lahirlah istilah “negeri” dan “swasta” yang sama sekali asing dari tradisi Islam.
Konsep keterlibatan rakyat secara langsung dalam urusan sosial ini dijamin dalam syariat. Allah SWT berfirman:
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتّى تُنْفِقُوا مِمّا تُحِبُّونَ
“Kalian tidak akan memperoleh kebajikan yang sempurna hingga kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
Ayat ini adalah pondasi wakaf. Para ulama tafsir Asy’ariyyah seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi menyatakan bahwa infak dalam ayat ini bukan sekadar zakat wajib, melainkan mencakup bentuk infak sukarela seperti wakaf yang manfaatnya berkelanjutan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan:
مَصْرِفُ الوَقْفِ فِي مَصَالِحِ العِبَادِ، وَإِنَّمَا السُّلْطَانُ رَقِيبٌ عَلَيْهِ، لَا مُتَصَرِّفٌ فِيهِ
“Penyaluran wakaf adalah pada kemaslahatan umat. Adapun penguasa hanyalah pengawasnya, bukan pemilik atau penguasa atasnya.”
Kini kita menyaksikan kontradiksi tajam. Negara mengklaim hak mutlak atas pendidikan melalui sekolah negeri, menyeragamkan kurikulum, memaksakan ideologi. Di bidang kesehatan, rumah sakit negeri menjadi corong sistem kapitalis medis, alih-alih tempat pengabdian. Bahkan ekonomi rakyat dicekik lewat pajak dan birokrasi yang menindas.
Inilah ironi terbesar umat Islam kontemporer: mengekor pada sistem Barat sekuler sembari menanggalkan warisan peradaban sendiri.
Revitalisasi wakaf bukan sekadar romantisme masa lalu, tapi jalan kebangkitan. Lembaga pendidikan berbasis wakaf, rumah sakit wakaf, pasar wakaf, adalah solusi integral untuk memutus ketergantungan pada negara yang terlalu jauh menjangkau urusan rakyat.
Perlu ada ijtihad institusional untuk membebaskan sektor publik dari monopoli negara. Umat harus mengingat, Abu a’la Al Maududi mengungkapkan hubungan negara dan rakyatnya
الدَّوْلَةُ خَادِمٌ لِلْأُمَّةِ، لَيْسَتْ سَيِّدَتَه
“Negara adalah pelayan umat, bukan tuannya”
Hal ini diperkuat oleh Imam Ibnu Asyur seorang penggagas maqasid syariah yang mengatakan :
السلطة في الإسلام هي أداة لتحقيق المصالح، لا غايةً بذاتها
“Kekuasaan dalam Islam hanyalah alat untuk mewujudkan kemaslahatan, bukan tujuan pada dirinya sendiri.” (***/goes)