OLEH : SUGIYANTO (SGY) – EMIK
LAGI-LAGI bikin saya terkejut dan mengernyitkan dahi. Karena, tiba-tiba saja, saya disodori pertanyaan teman wartawan yang bertanya soal pernyataan Gubernur Pramono Anung terkait larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Jakarta untuk berpoligami.
Sesungguhnya, pernyataan tersebut sudah disampaikan cukup lama, yakni saat Pramono menghadiri acara di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada Minggu, 2 Februari 2025.
Sedangkan pernyataan Gubernur terpilih Pramono Anung, saat itu muncul sebagai respons atas polemik seputar Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025, yang mengatur tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi ASN.
Pergub ini diterbitkan oleh Penjabat Gubernur Jakarta, Teguh Setyabudi, pada 6 Januari 2025, dan memuat mekanisme izin bagi ASN yang ingin memiliki lebih dari satu istri.
Namun terkait Pergub tersebut, saya sudah pernah menulis artikel pada 20 Januari 2025 berjudul “Pergub ASN DKI Boleh Poligami: Normatif, Harus Persetujuan Istri, Izin yang Ribet, dan Hampir Mustahil Dapat Restu”.
Pergub Nomor 2 Tahun 2025 itu merupakan regulasi normatif yang pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.Dalam hemat saya, tanpa adanya Pergub ini pun, aturan serupa sudah diatur dalam regulasi yang lebih umum. Maka dari itu, kelahiran Pergub ini sebetulnya tidak perlu dipersoalkan secara berlebihan.
Kendati secara normatif ada celah, Gubernur Pramono menunjukkan sikap tegas. Politikus senior ini dengan jelas menyatakan bahwa ia tidak akan mengizinkan ASN di DKI Jakarta untuk berpoligami. Ucapan Gubernur Pramono sangat tegas: “Pokoknya statement saya tentang itu (ASN poligami) sudah cetho welo-welo, sudah jelas banget.”
TINDAK ASN YANG POLIGAMI DIAM-DIAM ATAU MENJALIN HUBUNGAN GELAP
Tapi pada prinsipnya, saya mengapresiasi sikap tegas Gubernur Pramono Anung dalam menolak praktik poligami di kalangan ASN DKI Jakarta.
Namun demikian, ketegasan tersebut sebaiknya juga dibarengi dengan tindakan nyata terhadap segala bentuk hubungan pribadi yang menyimpang dan tidak etis di lingkungan birokrasi, terutama jika melibatkan pejabat di lingkup Pemprov DKI Jakarta.
Bahkan, saya meyakini, ASN di DKI Jakarta kemungkinan besar tidak akan berani mengajukan izin untuk berpoligami, kecuali dalam keadaan tertentu yang diperbolehkan oleh hukum agama dan peraturan pemerintah.
Karena itu, Gubernur Pramono perlu membuka mata terhadap potensi adanya ASN yang berpoligami secara diam-diam, atau bahkan menjalin hubungan gelap (affair) dengan sesama ASN maupun Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Tentang issue ASN yang melakukan poligami secara sembunyi-sembunyi atau menjalin hubungan gelap boleh jadi muncuat dalam obrolan warung kopi, atau mungkin menjadi bahan perbincangan informal di kalangan pegawai Pemprov DKI Jakarta.
Meskipun belum ada bukti konkret, issue ini tetap patut mendapat perhatian serius. Terutama bagi ASN yang menduduki jabatan tinggi seperti Eselon III, Eselon II maupun Eselon I di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, pengawasan dan penegakan disiplin perlu dilakukan dengan tegas.
Dalam konteks ini, sebagai kepala daerah yang menjunjung tinggi etika dan integritas aparatur negara, Gubernur Pramono Anung sebaiknya membuka ruang evaluasi internal. Bila diperlukan, ia dapat memerintahkan dilakukannya investigasi, meminta laporan dari pejabat terkait, atau bahkan melakukan konfirmasi langsung kepada ASN yang dicurigai.
Apabila hasil investigasi membuktikan adanya ASN atau Pejabat yang telah berpoligami secara diam-diam atau menjalin hubungan gelap dengan sesama ASN, maka Gubernur Pramono harus bertindak tegas.
Sanksi berupa pemecatan adalah langkah paling tepat. Langkah ini penting untuk mencegah pelanggaran etika atau moral yang bisa mencoreng nama baik institusi dan mengganggu kinerja birokrasi.
Tentunya jika Gubernur Pramono benar-benar berkomitmen menolak poligami atas dasar moral dan kepatutan publik, maka sikap tersebut harus pula berlaku terhadap praktik poligami terselubung, hubungan gelap, perselingkuhan atau relasi pribadi yang melanggar etika profesionalisme kerja.
Dengan begitu saksi pemecatan terhadap ASN yang bandel adalah pilihan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.Soal etika publik menuntut seorang ASN – terlebih pejabat publik – untuk menjadi teladan dalam sikap dan perilaku.
Mereka tidak hanya dituntut mematuhi aturan tertulis, tetapi juga menjunjung tinggi norma sosial dan moral yang melindungi kehormatan pribadi serta jabatan yang diemban.
Pramono Anung dilantik menjadi Gubetnur DKI Jakarta pada 20 Februari 2025. Ketegasan moral Gubernur Pramono yang tidak akan memberi izin poligami bagi ASN di DKI Jakarta saat itu juga sudah mendapat apresiasi dari publik.
Namun demikian, agar komitmen tersebut tidak bersifat setengah hati, Gubernur Pramono juga perlu menunjukkan konsistensi dengan menindak tegas segala bentuk pelanggaran etika – baik berupa poligami tanpa izin maupun hubungan gelap yang tersembunyi.
Dengan ketegasan yang menyeluruh, kredibilitas dan integritas pemerintahan Pemprov DKI Jakarta akan semakin kuat di mata masyarakat. (***/goes
(PENULIS : SUGIYANTO (SGY) EMIK adalah Pengamat Kebijakan Publik & Pemerintahan, kini tinggal di Jakarta)