JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Sungguh terlalu! Skandal dugaan gratifikasi kembali mencoreng institusi Pemerintah. Untuk kali ini sorotan tertuju kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setelah beredar luas foto tumpukan uang dollar Amerika yang juga diduga kuat sebagai gratifikasi dalam acara pernikahan anak seorang pejabat tinggi kementerian tersebut.
Sedangkan foto yang kini menjadi viral tersebut, jelas-jelas memperlihatkan 6 gepok uang pecahan USD 100 – dengan taksiran total mencapai USD 15.000 – tengah dihitung oleh petugas, disertai sebuah amplop putih yang tampak telah disobek. Bahkan, uang tersebut diketahui dibawa oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan digagalkan oleh Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) internal kementerian.
Sangat mengherankan. Kenapa? Alih-alih ditindaklanjuti secara hukum, uang yang telah nyata sebagai bentuk pemberian tidak wajar kepada pejabat negara itu, justru hanya dikembalikan kepada si pemberi. Langkah itu menuai kritik dari publik yang menilai kementerian seolah-olah menutup mata terhadap prinsip dasar pemberantasan korupsi.
Inspektur Jenderal Kementerian PUPR, Dadang Rukmana, membenarkan kejadian tersebut. Kemudian menyatakan bahwa langkah pengembalian uang telah dilakukan serta dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun sayangnya, tidak ada kejelasan mengenai identitas pejabat penerima, ASN pembawa uang maupun proses hukum lanjutan.
“Kalau ada uang berlebihan kita kembalikan, lalu lapor ke KPK,” ujar Dadang, tanpa menjelaskan apakah ada sanksi administratif maupun pidana bagi pihak-pihak yang terlibat.
Karuan saja kondisi tersebut menimbulkan tanda tanya besar : Apakah gratifikasi dapat begitu saja dimaafkan setelah terbongkar, lantas cukup dengan alasan pengembalian?
Tak ayal, kritik pun juga datang dari berbagai pihak terhadap sikap kementerian yang dinilai tidak transparan dan cenderung abai terhadap prosedur penegakan hukum. Skandal ini pun memperburuk citra lembaga yang tengah dalam sorotan pasca-pemanggilan sejumlah pejabat oleh KPK dan Kejaksaan Tinggi di berbagai kasus.
Namun pada saat bersamaan, Wakil Menteri PUPR Diana Kusumastuti, juga tengah menjadi sorotan. Sudah diketahui, ia telah menerima surat panggilan resmi dari Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) untuk memberikan keterangan atas dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi pembangunan perumahan eks pejuang Timor Timur.
Namun, Diana menolak hadir dengan alasan kesibukan. “Saya sudah menerima suratnya, tapi karena kesibukan kami minta dijadwalkan ulang,” ujarnya enteng, tanpa menunjukkan itikad tunduk pada proses hukum.
Yang jelas, sikap abai terhadap panggilan hukum dan lemahnya penindakan terhadap dugaan gratifikasi mempertegas kesan bahwa integritas dan akuntabilitas di lingkungan Kementerian PUPR, masih jauh dari harapan publik.
Bahkan, kondisi itu menegaskan pentingnya pengawasan eksternal yang lebih ketat. Selain peran aktif KPK dalam menindaklanjuti setiap temuan gratifikasi, meski hanya dalam bentuk pemberian pada acara pribadi seperti pernikahan.
Kesimpulannya, jika praktek seperti ini terus dibiarkan tanpa konsekuensi tegas, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: korupsi hanya salah bila ketahuan dan cukup dikembalikan bila tertangkap basah. © RED/AGUS SANTOSA