JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ “Islam tidak melarang hambanya untuk mengekspresikan kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan. Namun, Islam mengajarkan ekspresi kegembiraan tidak boleh membuat seorang lupa pada Allah SWT,” tutur KH Bukhori Sail Attahiry L.c MA selaku khotib sholat Jum’at di Masjid Istiqlal Jakarta, 13 Jumadil Akhir 1444 H/6 Januari 2023 M.
Dihadapan tidak kurang dari 16 ribu jamaah yang hadir dan datang mengikuti sholat Jum’at, KH Bukhori Sail Attahiry ceramah dengan pembahasan yang bertemakan : ‘Menatap Spiritualitas Menuju Kesuksesan Dunia Akhirat’. Hal tersebut dikorelasikan terkait pelaksanaan perayaan Tahun Baru 2023 yang baru lalu.
Menurutnya bahwa kegembiraan juga tidak boleh diekspresikan dengan melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam. Seperti melalukan kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam atau menghabur-haburkan dana untuk sesuatu yang menyenangkan semata, tapi tidak ada manfaat yang dapat dipetik dari situ. Hanya mengikuti hawa nafsu, karena hal itu termasuk tabdzir.
“Karena itu pula, setiap malam pergantian tahun, baik tahun Hijriyah maupun tahun Miladiyah, Masjid Istiqlal senantiasa menyelenggarakan Malam Muhasabah dan Qiyamullail. Intinya untuk mengajak umat Islam memanfaatkan kesempatan mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, memohon hidayah dan taufiq-NYA. Ini merupakan ekspresi kegembiraan seorang Muslim yang senantiasa berupaya mendekat kepada Allah SWT, baik dalam keadaan gembira maupun sedih,” urainya.
Melanjutkan ceramahnya, KH. Bukhori Sail Attahiry menyebutkan bahwa spirit Tahun Baru bagi umat Islam dijadikan momentum untuk memotivasi diri sendiri dan umat. Terutama untuk menumbuhkan semangat baru agar semakin meningkatkan kualitas ibadah dan kebajikan. Sebab, seorang Muslim sejati itu adalah orang yang harinya lebih baik dari hari kemarin atau sebelumnya.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAWdalam sebuah hadits yang artinya : “Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Dan, barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka)” (HR. Al-Hakim).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang yang harinya justru lebih baik dari hari-hari sebelumnya, maka tidak ada kebaikan selain kematian untuknya. Riwayat ini sebagaimana dikutip oleh Syekh Abbdurrahman as-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul Hasanah, juz I, halaman 631.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Barangsiapa yang kedua harinya (saat ini dan kemarin) sama, maka ia (tergolong) orang yang rugi. Barangsiapa yang dua hari terakhirnya lebih buruk, maka ia terlaknat. Barang siapa yang tidak berada pada peningkatan, maka ia berada pada keadaan defisit, maka kematian lebih baik baginya. Dan, barangsiapa yang merindukan surga, maka ia akan cepat-cepat dalam melakukan kebaikan” (HR. ad-Dailami).
Lebih jauh dicontohkan yang lain dari Syekh Nuruddin Al-Harawi Al-Qari (wafat 1014 H) dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz IV, halaman 352, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah (peningkatan – penambahan) pada hadits di atas adalah dengan bertambahnya ilmu, ibadah dan segala bentuk kebaikan. Bukan bertambahnya dunia dan jabatan. Sebab, keberuntungan selalu berpihak pada orang yang meningkatkan ketaatan dan kebaikannya, bukan dunia atau jabatannya.
Berkaitan hal tersebut, Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-NYA untuk selalu introspeksi perihal apa yang akan menjadi bekalnya menuju akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqqalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah. Sunguh, Allh Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18)
Selain itu, KH. Bukhori Sail Attahiry melanjutkan khutbahnya bahwa Imam al-Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsir Lathaiful Isyarat atau Tafsir Al-Qusyairi menjelaskan kalau ayat di atas memiliki dua arti ketaqwaan. Yang pertama yaitu meningkatkan ketaqwaan dengan cara memikirkan balasan yang akan didapat kelak di akhirat atas perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di dunia. Meningkatkan ketaqwaan dengan cara nawas diri dan introspeksi. Sedangkan yang kedua yaitu dengan memaksimalkan waktunya untuk menambah ketaatan.
Dengan kata lain, menumbuhkan semangat baru di hari yang baru dengan ketaatan dan kebajikan. “Orang tidak bisa memperbaiki harinya, kecuali dengan cara introspeksi atas apa yang dilakukan di hari-hari sebelumnya,” tutup khutbahnya. ■ RED/AGUS SANTOSA