30.8 C
Jakarta
22 November 2024 - 12:36
PosBeritaKota.com
Opini

Cendekiawan yang Tak Pernah Henti Berpikir, ANIES BASWEDAN BERMUNAJAT di Apel Siaga GBK

OLEH : AGUS WAHID

BARU kali ini? Sepertinya begitu. Publik bisa buka jejak digitalnya. Itulah Anies yang berdoa di hadapan umat manusia yang tak kurang dari angka 150 ribuan orang di Gelora Bung Karno (GBK) itu pada Ahad, 16 Juli kemarin saat Apel Siaga Perubahan NASDEM. Sebuah munajat yang mengagetkan sekaligus mengundang tanya jutaan masyarakat dalam dan luar negeri, sebagai anak bangsa RI atau bahkan masyarakat asing di Tanah Air ini dan mancanegara.

Apa yang mendorongnya bermunajat itu. Tidak seperti biasanya Anies begitu. Inilah yang layak kita analisis lebih jauh. Pertama dan utama, Anies seorang cendekiawan yang tak pernah henti berfikir saat menyaksikan panorama negeri kita yang sangat memprihatinkan. Fakta bicara, negeri kita sedang tidak baik-baik saja dalam berbagai sektor. Rakyat secara luas menjadi korban perilaku kekuasaan ketidakadilan secara ekonomi, hukum, bahkan sosial-politik. Boleh dikata, gunung es sedang bersiap-siap melumer dahsyat. Maka, di hadapan kita terbayang tsunami politik yang siap menenggelamkan kepulauan Nusantara ini.

Kedua, panorama itu menggerakkan keterpanggilan untuk penyelamatan. Sangat urgent. Tapi, upaya penyelamatan itu tampak telah “dikunci” secara terstruktur, ekstensif, dari terpuncak hingga terbawah. Seluruh pintu itu seolah menegasikan harapan untuk melakukan perubahan-perbaikan. Maka, bayang-bayang negeri ini semakin gulita. Apakah, akan segera tenggelam karena tercengkeram oleh sosok pemimpin yang tak jauh beda prototipenya dengan rezim saat ini?

Itulah – sebagai hal ketiga – yang mendorong Anies menengadah kedua tangannya, mengajak seluruh hadirin Apel Siaga Perubahan NASDEM untuk mengaminkannya. Yaitu sebuah doa yang memohon kepada Gusti Allah Yang Maha Kuoso untuk memberikan rahmat atau berkah kepada para pemimpin negeri ini, dari yang tertinggi hinggi yang terbawah stratanya. Sebuah doa yang mengharapkan perubahan sikap para pemimpin itu melindungi seluruh rakyatnya dari hal-hal yang tak diinginkan. Sebuah permohonan yang sungguh arif dan sarat dengan dimensi kemanusiaan dan nasionalisme.

Namun, sebagai karakter manusia yang dlaif, Anies pun melihat, hidayah itu milik Allah SWT semata. Tak ada satupun yang bisa mengubah kehendak-NYA, kecuali Allah SWT memang menghendakinya. Karena itu, Anies pun memandang secara obyektif bahwa seluruh saluran yang telah “terkunci” itu menggambarkan kedigdayaan raksasa yang memang anti perubahan. Ada kesan kuat, tak mungkin bisa menggerakkan perubahan yang dicita-citakan itu. Di sanalah, Anies – sebagai hal keempat – melihat dan meyakini: ada Allah SWT yang jauh lebih didagdaya.

Skenario manusia secanggih atau sehebat apapaun, terlalu kecil dibandingkan skenario Allah SWT. Jika Allah SWT “turun tangan”, maka porak-poranda skenario jahat manusia itu. Maka, terlihat dan terdengarlah desis suara yang keluar dari mulut seorang Anies: memohon kekuatan, perlindungan dan pertolongan. Allah SWT-lah pemberi kekuatan yang super digdaya, sehingga seorang Thalut mampu kalahkan Jalut, sang raja raksasa. Juga, karena pertolongan Allah SWT, Ibrahim AS selamat dari amukan api besar yang membakarnya, padahal – secara logika – panorama Thalut dan Ibrahim – kondisinya tidak memungkinkan menang dari cengkeraman penguasa atau sistem thaghut kala itu. Sejarah telah membuktikan, keyakinan yang disertai ketaqwaannya kepada Yang Maha Kuasa akan membawa hasil sesuai cita-cita, meski demikian berat dan penuh perjuangan dan pengorbanan.

Menelisik doa Anies di hadapan ribuan massa itu bagai deklarasi secara terbuka sekaligus melaporkan kepada Gusti Allah yang Maha Suci, tentang nasib bangsa dan negeri ini yang harus diselamatkan segera. Untuk misi dan hak-hak kemerdekaan sejati umat manusia di Tanah Air ini. Sebuah renungan, mengapa baru kali ini Anies bermunajat di hadapan basis massa yang lebih dari angka 150-an ribu, padahal jauh sebelumnya sudah sering berhadapan dengan massa ratusan ribu juga?

Seperti kita ketahui, baru beberapa hari lalu Anies Baswedan, istri dan anak-anaknya baru selesai menunaikan ibadah haji. Dengan keyakinan, ibadah hajinya mabrur, maka – seperti yang terurai di berbagai matan hadits – ia bagai kain putih, suci karena telah terlebur dosa-dosanya. Dan selama 40 hari seusai ibadahnya, doa yang suci dari debu-debu dosanya itu maqbul (diijabah), apalagi diamini oleh puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang yang berada di arena GBK, dan – boleh jadi puluhan jutaan orang yang menyaksikan tayangan langsung saat Anies berdoa yang penuh damai, ajakan yang sangat arif dan doa untuk perbaikan nasib bangsa dan negeri ini.

Pengaminan ratusan bahkan jutaan orang itu mengkuantitaskan berapa milyar total munajat itu. Totalitas kuantitatif itulah yang mengoptimiskan hasil: terkabul doanya, apalagi dalam “lautan” manusia yang mengamini doa Anies itu terdapat jutaan orang yang ternistakan secara sosial-ekonomi, terdzalimi secara hukum dan politik yang demikian tendensius. Penderitaan mereka ternista dan terdzalimi itu tentu didengar oleh Allah yang Maha Adil itu. Menambah kualitas pengabulan doa yang diamini itu.

Mencermati responsi massa yang mengamini doa Anies, menimbulkan satu decek kagum: subhanallah. Doa yang penuh makna itu mencerminkan calon pemimpin yang memahami realitas kondisi obyektif. Tahu persis kapan dan bagaimana mengadu kepada “Yang Maha Tepat” atas bergunung persoalan beratnya. Tahu persis pula way out bagi sosok yang beriman dan mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan. Berat dan tak mungkin bagi ukuran manusia. Tapi, lain bagi Allah SWT. Karena itu mendasarkan kepada Allah SWT memang the one way.

Cara pandang itu tidak berarti kita harus “memperbudak” Allah SWT. Berdoa atau bermunajat tanpa berjuang. Para pendamba terwujudnya cita-cita keadilan, kesejahteraan yang berkemajuan dan nilai-nilai konstruktif lainnya, tetaplah memperkuat barisan dalam langkah yang terukur: untuk berjuang tanpa henti. Maka, menjadi relevenlah ketika lagu wajib berkumandang: MAJU TAK GENTAR… “Majulah, majulah menang…” Majulah, majulah menaaang”… Satu lirik lagi, yang bukan hanya membangkitkan gelora berjuang, tapi berjuang itu menjadi serangkaian kata kunci penguat doa.

Sekali lagi, lagu wajib perjuangan itu menjadi energi positif, spirit bagi seluruh elemen bangsa ini untuk menggolkan capres idaman bangsa negeri ini: Anies Baswedan. Right now, not later. Untuk kepentingan anak bangsa saat ini, anak-anak kita, cucu-cucu dan buyut-buyut kita sebagai generasi pewaris sah negeri ini. Inilah nur legacy yang harus dipersembahkan, bukan gulita dan nestapa. Sebuah legacy yang bermartabat, penuh rasa pertanggungjawaban dan kemanusiaan. © [***/goes]

(PENULIS : AGUS WAHID adalah Analis dari Center for Public Policy Studies – INDONESIA)

Related posts

Memaknai Keberkahan Ramadhan, BULAN yang Dipersiapkan untuk Menempa Karakter Kemanusiaan Kita

Redaksi Posberitakota

“Miras : SEMUA AGAMA MENUTUP PINTU, Pemerintah Malah Membukanya”

Redaksi Posberitakota

Arah Perubahan yang Benar & Lebih Baik, KONSISTEN pada Nilai Itu Penting!

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang