OLEH : SUGIYANTO (SGY)
PERTANYAAN ini memunculkan debat menarik, mengingat politik seringkali tidak mengenal teman atau musuh abadi, melainkan hanya mempertimbangkan kepentingan. Politik juga merupakan seni mengubah yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Dan, sepertinya hal ini terjadi dalam politik Tanah Air saat ini.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) telah mengumumkan Prabowo Subianto (PS) sebagai calon presiden (Capres) 2024. Untuk mendukung PS, Gerindra mengajak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk berkoalisi. Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) adalah calon wakil presiden potensial.
Namun setelah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung dengan Gerindra, peluang Cak Imin menjadi calon wakil presiden pilihan PS berkurang. PAN mengusulkan Erick Thohir sebagai calon wakil presiden, sementara Golkar tampaknya menginginkan Airlangga Hartarto untuk posisi tersebut.
Di sisi lain, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum memutuskan calon wakil presiden (Cawapres) mereka. Deklarasi calon presiden Anies telah dilakukan sejak Oktober 2022, dan Anies sendiri akan menentukan calon wakil presidennya.
Pada akhirnya, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dianggap berpotensi menjadi calon wakil presiden Anies Baswedan. Namun, perbedaan prinsip membuat Partai Nasdem dan Anies Baswedan memilih Cak Imin sebagai calon wakil presiden.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh dan Anies Baswedan tahu bahwa Cak Imin adalah calon wakil presiden (Cawapres) potensial Prabowo Subianto?
Selanjutnya, apakah Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Anies Baswedan telah berdiskusi atau setidaknya menyampaikan keinginan mereka kepada Prabowo Subianto?
Atau mungkin mereka telah mengkalkulasikan bahwa menjodohkan Anies dengan Cak Imin adalah cara terbaik untuk memenangkan pemilihan presiden (Pilpres)2024. Ini mungkin memunculkan perdebatan di masyarakat, apakah Anies merebut Cak Imin dari posisi calon wakil presiden (Cawapres) potensial Prabowo Subianto?
Pertanyaan ini muncul karena Anies Baswedan dianggap memiliki dukungan yang lemah di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, khususnya dari kalangan Nahdliyin atau warga atau masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Sementara Cak Imin memiliki basis massa yang kuat di sana.
Dalam konteks ini, mungkin pilihan terbaik adalah memilih Cak Imin sebagai calon wakil presiden (Cawapres) Anies Baswedan, meskipun Cak Imin juga dipertimbangkan sebagai calon wakil presiden potensial oleh Prabowo Subianto. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan besar, yakni apa yang mendasari keputusan ini?
Namun tentang Cak Imin bersedia menjadi calon wakil presiden Anies tidak bisa disalahkan. Sebab, dia juga berhak mimilih opsi terbaik.
Hanya pelaku politik langsung yang dapat menjawab semua pertanyaan di atas dengan jujur. Namun, ketika kita mengajukan pertanyaan kepada para politisi, seringkali jawaban yang diberikan cenderung bias. Sehingga, terkadang terasa lebih baik jika kita mencari pemahaman dari berbagai sumber yang lebih objektif, atau bertanya kepada “rumput yang bergoyang.”
Tapi yang pasti bahwa di dalam dunia politik, prinsip yang berlaku adalah kepentingan. Ketika memiliki kepentingan yang sama, hubungan bisa menjadi erat. Namun, jika kepentingan tidak sejalan, maka berpisah atau menjadi lawan politik menjadi hal yang umum terjadi.
Etika politik, adat dan sopan santun seringkali diabaikan. Mungkin saat ini ada paradigma baru yang berlaku: “Lebih baik meminta maaf daripada izin?” Walaupun sebelumnya terlibat dalam politik dengan hubungan yang harmonis.
Demikianlah, dalam politik, sering kali “demokrasi” dijadikan sebagai kambing hitam untuk menjelaskan perubahan sikap politik yang cepat. Maka tak heran jika penyanyi dan pencipta lagu legendaris, Iwan Fals, menyuarakan dalam lirik lagunya dengan pertanyaan tajam, “Apakah Selamanya Politik Itu Kejam?” (***/goes)
(PENULIS adalah Pemerhati Politik & Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Jakarta)