JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Ketua Masyarakat Pemantau Kebijakan Eksekutif dan Legislatif (Majelis), Sugiyanto, menyayangkan pernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra yang juga Wagub DKI Jakarta, Sandiaga Uno. Khususnya pernyataan yang mendukung rencana KPU untuk tidak lagi mengizinkan eks narapidana kasus korupsi menjadi calon legislatif (Caleg) dalam Pileg 2019.
Menurutnya pernyataan Sandi itu bisa menjadi blunder karena wakil ketua tim suksesnya di Pilkada DKI 2017 yang membuat dirinya dan Gubernur Anies Baswedan kini menjadi orang nomor 1 dan 2 di DKI, pernah tersandung kasus korupsi.Begitu pula Taufik juga akan maju lagi di Pileg 2019 agar dapat kembali duduk sebagai anggota dan pimpinan di DPRD DKI.
“Sandi tidak perlu mengeluarkan penyataan begitu, karena itu bisa menjadi blunder,” kata Sugiyanto kepada POSBERITAKOTA, di Jakarta, Minggu (27/5).
Ia mengingatkan saat Pileg 2014 akan digelar, wacana larangan eks narapidana kasus korupsi menjadi caleg, juga muncul, tapi kemudian tidak dilaksanakan karena terkait dengan HAM (hak asasi manusia). Kala itu para eks narapidana kasus korupsi yang menjadi Caleg hanya diminta membuat surat pernyataan bahwa mereka takkan mengulangi perbuatannya.
Selain itu, dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tak ada bab atau pasal yang melarang eks narapidana menjadi Caleg, dan hak seseorang untuk memilih dan dipilih saat Pemilu dilindungi oleh UUD 1945 karena ada pasal-pasal yang mengaturnya, yakni pasal 1 ayat (2), pasal 2 ayat (1), pasal 6A ayat (1), pasal 19 ayat ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) untuk hak memilih; dan pasal 27 ayat (1) dan (2), pasal 28, pasal 28D ayat (3), serta pasal 28E ayat (3) untuk dipilih.
Sugiyanto percaya, penyataan Sandi telah membuat M Taufik, wakil ketua tim suksesnya itu, menjadi terganggu bahkan dapat menjegalnya untuk maju lagi di Pileg 2019. Saat ini Taufik menjabat sebagai wakil ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 dan ketua DPD Gerindra DKI Jakarta.
“Pernyataan itu saya nilai tidak etis dan bisa kualat, karena andil Taufik begitu besar terhadap dia,” tegasnya.
Taufik terjerat kasus korupsi pada 2003, saat menjabat sebagai Ketua KPU DKI. Ia didakwa melakukan korupsi pada pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004 dengan kerugian negara sebesar Rp 488 juta. Dia divonis 18 bulan penjara.
Taufik sendiri pernah mengatakan kalau dakwaan itu tak jelas. “Saya dibilang korupsi Rp 200 juta untuk pengadaan whiteboard yang panjangnya kurang 2 cm, buat dibagi-bagi ke TPS. Masalahnya, pas itu saya Ketua KPU-nya. Saya yang tanda tangan, saya juga penanggungjawabnya. Tapi saya yang kena. Setahun saya mendekam (di penjara) oleh Kejati DKI, tahun 2005 keluar dari penjara,” katanya. ■RED/JOKO