SURABAYA (POSBERITAKOTA) – Pembatasan gerak kendaraan dengan sistem ganjil genap (SGG) di wilayah Jawa Timur (Jatim), seperti di Kota Surabaya dan Malang Raya dinilai merugikan warga. Meski aturan itu masih sebatas wacana, namun terlanjur memunculkan kegaduhan.
Penolakan pun segera bermunculan. Salah satunya dari Perhimpunan Driver Online Indonesia (PDOI) Jawa Timur. Bahkan Daniel Lukas Rorong, Humas PDOI langsung menyebarkan petisi penolakan secara online terkait pemberlakuan SGG.
Sikap lebih tegas ditunjukan oleh Indonesia Traffic Watch (ITW). Edison Siahaan Ketua Presidium ITW mengaku siap melakukan gugatan ke pengadilan jika wacana SGG diterapkan menjadi aturan. Menurut Edison, warga Jawa Timur berhak melakukan gugatan hukum secara class action.
“Kalau akhirnya wacana itu diberlakukan, warga bisa melakukan class action. ITW siap melakukan pendampingan hukum. Kami sudah berpengalaman dan menang saat menggugat Pergub DKI tentang pembatasan sepeda motor di jalan protokol. Akhirnya Mahkamah Agung membatalkan aturan tersebut,” tutur Edison saat dikonfirmasi, Senin (3/12).
Edison mengungkapkan bahwa dalam menerapkan aturan pemerintah pusat maupun daerah harus melalui kajian yang komprehesif dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk masyarakat sebagai pengguna jalan. Selain itu ada sejumlah aspek yang harus diperhatikan.
Karenanya itu, seharusnya Pemprov Jatim atau Dishub memahami tiga tujuan pokok yang wajib diwujudkan sesuai dengan amanat UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pertama, terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar (Kamseltibcar) dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa.
Kedua, terwujudnya etika berlalu lintas sebagai budaya bangsa. Dan Ketiga terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
“Jadi, siapkan dulu transportasi umum yang nyaman, murah dan terintegrasi. Baru boleh membatasi gerak kendaraan. Kalau transportasi umumnya nyaman, saya kira masyarakat akan lebih memilih naik angkutan umum ketimbang kendaraan pribadi,” imbuhnya.
Edison menegaskan kalaupun mau mengatasi kemacetan. Seharusnya pemerintah melakukannya mulai dari hulu. Diantaranya dengan membatasi kendaraan bermotor. Caranya dengan melakukan moratorium kepemilikan kendaraan bermotor. Contohnya melarang warga membeli mobil sampai 5 tahun ke depan. Atau dengan menaikan pajak kendaraan bermotor dua kali lipat.
Jurnalis senior ini menambahkan, bisa juga membatasi kendaraan bermotor dengan mengeluarkan perda yang mewajibkan pemilik mobil memiliki garasi. Dengan begitu akan lebih selektif bagi warga yang ingin memiliki mobil.
“Jadi lebih tepat membatasi kendaraan bermotor dari pada membatasi gerak kendaraan bermotor. Kalau gerak kendaraan dibatasi tidak adil, sementara mereka bayar pajak kendaraan bermotor kepada negara. Sehingga seharusnya mereka mendapatkan fasilitas jalan yang layak,” tandas Edison.
Secara terpisah Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim, RB Fattah Jasin, menjelaskan bahwa pemberlakuan kebijakan Ganjil Genap di Jatim masih sebatas wacana yang sedang dikaji Dishub. Kajian ini sebagai tindak lanjut dari instruksi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), karena tingkat kemacetan di beberapa kota di Provinsi ini tergolong tinggi.
Salah satu kajian itu dilakukan dengan menggelar workshop ‘Penerapan Kebijakan Ganjil Genap Sebagai Upaya Mengatasi Kemacetan di Jawa Timur’ bersama dengan organisasi angkutan umum dan jajaran pimpinan Dishub kabupaten/kota di Hotel Mercure, Surabaya, Senin (3/12).
“Penerapan ganjil genap ini merupakan instruksi dari Kementerian Perhubungan karena tingkat kemacetan yang cukup tinggi di kota Surabaya dan Malang Raya. Untuk itu, kita menggelar workshop ini,” kata Fattah Jasin, usai workshop. ■ RED/DIDAY/GOES