JAKARTA (POSBERITAKOTA) ■ Akibat pandemi COVID-19 harian di Jakarta yang lumayan meninggi saat ini, bakal disikapi Gubernur Anies dengan mengeluarkan kebijakan rem mendadak (Emergency Brake Policy). Indikasi tersebut diprediksi kuat Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta melalui salah seorang anggotanya, Syarief.
“Ada kemungkinan (kebijakan rem mendadak) itu bakal dilakukan Anies. Kita tunggu (keputusannya) antara 3 atau 4 kedepan, ya,” ungkap anggota Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Syarif memprediksi, Selasa (14/7/2020).
Kendati ada kebijakan rem mendadak, ditegaskan Syarif, juga diduga kegiatan sektoral tetap berjalan. Artinya, rem mendadak nanti bukan mengembalikan situasi Jakarta seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada April-Mei lalu.
Sebelumnya, DKI Jakarta hanya mengizinkan 11 sektor usaha beroperasi, membatasi jam operasional angkutan umum, menutup rumah ibadah, mal, perkantoran dan sebagainya. Namun begitu dengan adanya rem mendadak nanti, DKI akan kembali mengoptimalkan pemeriksaan surat izin keluar masuk (SIKM) di angkutan pribadi.
“Jadi, saya ragu menerapkan kebijakan rem mendadak secara penuh (seperti PSBB awal). Tapi nanti yang sektoral. Tidak ada penutupan portal, tapi nanti (pemeriksaan) SIKM akan muncul lagi,” bebernya.
Dikatakan Syarief bahwa kebijakan rem mendadak sektoral dikeluarkan dengan harapan perekonomian di Jakarta terus menggeliat. Di sisi lain, masyarakat tetap mematuhi ketentuan pencegahan COVID-19 dengan sikap 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Dalam kesempatan itu, Syarif membantah tudingan soal lemahnya pengawasan yang dilakukan Pemprov DKI sebagai buntut kenaikan angka Covid-19. Partai pengusung Anies dalam Pilkada 2017 lalu ini menyebut, DKI telah mengerahkan 5.000 aparatur sipil negara (ASN) sejak bulan lalu untuk mengoptimalkan pengawasan di pasar-pasar tradisional.
“Dulu nggak pakai masker kan diingatkan dan dikasih, tapi kalau sekarang nggak pakai masker bisa ditindak dan dilarang masuk ke pasar,” ungkapnya.
Menurut dia, tingginya kasus COVID-19 adalah dampak dari gencarnya aktifnya pencarian kasus baru (active case finding) yang dilakukan eksekutif. Petugas kesehatan tidak hanya mengecek tes swab melalui PCR kepada orang yang sakit saja, tapi ke masyarakat yang pernah berkontak langsung dengan pasien dan berada di zona rawan COVID-19.
“Ini yang membuat kenaikan grafik, makin ditambah pemeriksaan makin naik grafiknya dong karena kelihatan ada yang positif,” ucapnya.
Kendati begitu, Syarif juga menyoroti adanya sikap keraguan dari eksekutif bila ada lonjakan kasus COVID-19 di ibu kota. DKI seharusnya langsung menutup suatu kawasan atau cluster tertentu bila terjadi peningkatan COVID-19.
“Di sini saya melihat memang ada keragu-raguan, karena dari para pakar epidemiologi dan kesehatan sebetulnya tidak memungkinkan ada pelonggaran (PSBB transisi),” katanya.
“Maksud saya keragu-raguan, kenapa nggak ditutup 3-4 hari lalu dilakukan evaluasi,” lanjutnya.
Seperti diketahui, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membeberkan kasus harian COVID-19 pada Minggu (12/7/2020) berada di angka tertinggi mencapai 404 orang. Bahkan tingkat positivity rate saat ini naik dua kali lipat menjadi 10,5 persen, padahal standar Organsiasi Kesehatan Dunia (WHO) maksimal lima persen.
Bahkan melalui siaran YouTube Pemprov DKI Jakarta, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI itu kemudian memberikan klarifikasi soal Covid-19 di daerahnya. “Tadi pagi pada pukul 10.00, Dinas Kesehatan melaporkan kasus baru di Jakarta. Dalam seminggu terakhir ini, kita tiga kali mencatat rekor baru penambahan (Covid-19) harian,” kata Anies pada Minggu (12/7/2020).
“Hari ini adalah yang tertinggi sejak kita menangani kasus di Jakarta, ada 404 kasus baru,” lanjut Anies.
Sebelumnya, Anies memperpanjang masa PSBB transisi fase pertama mulai Jumat (3/7/2020) sampai Kamis (16/7/2020). Sebetulnya PSBB transisi fase pertama berlangsung dari 5 Juni sampai 2 Juli 2020, namun Anies memutuskan memperpanjangnya lagi. ■ RED/GOES