JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Geliat hiburan malam di Ibukota Jakarta bagai mati suri. Sedikit pun tak ada tanda-tanda kehidupan. Diskotek, pub, singing hall, panti pijat, live dangdut dan rumah karaoke – nyaris tak berdenyut. Gedung-gedungnya terlihat sepi dan bagai sarang hantu. Ke mana saja mereka sebagai pekerja seni – harus bergantung hidup ditengah pandemi COVID-19?
Lampu neon box yang menandakan brand masing-masing usaha hiburan, tak lagi nyala. Artinya, apa? Jakarta sudah mirip atau sebagai kota mati. Pemandangan cewek-cewek cantik yang bersliweran di malam-malam libur panjang, Sabtu dan Minggu, tak lagi nampak.
POSBERITAKOTA pun melakukan pemantauan lapangan dan mewawancarai kondisi mereka (pekerja seni) di dunia hiburan malam saat sekaramg. Benar, akibat Pemprov DKI Jakarta menerapkan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak awal Maret lalu sampai sekarang masuk awal Oktober, jelas-jelas bikin kolaps para pengusaha hiburan di Ibukota.
NP live musik di kawasan Jalan Labu, Kota, Jakarta, sudah tutup total. Biasanya hampir setiap malam, tak pernah sepi pengunjung. Lantas, ke mana saja para karyawan atau penyanyi singing hall atau pub malam ini? Jawabnya, mereka tak lagi harus mengandalkan dari situ.
Awi, manajer plus MC di NP, mengaku stop total dengan pekerjaan profesional. Menurutnya, kalau cuma satu atau dua bulan tutup, tentu kehidupannya tak separah sekarang. Jadi, sekadar buat kebutuhan makan sehari-hari terasa sulit.
Hal senada juga diutarakan Sri, penyanyi dangdut kafe yang biasa tampil di M-Club Dangdut di Jalan Mangga Besar Raya. Honor bulanan dari pengelola kafe serta penghasilan harian dari uang saweran, amblas dan tak pernah diterimanya lagi.
Nah, kata perempuan asal Jawa Tengah, sejak 20 tahunan silam memang sudah mengandalkan hidup dari situ. Sekarang, jawab dia : Ambyar. Akibat virus Corona, planning dan obsesi hidupnya porak poranda alias tak bakalan tercapai.
Begitu pula yang dialami Betty, juga penyanyi dangdut di F-1 Jakarta. Sekarang ini, terpaksa harus tinggal di rumah terus. Meski mau beralih ke bidang usaha atau dagang, otomatis butuh modal. Buat makan sehari-hari saja susah, jadi jangan ngimpi bisa menjalani usaha.
Lela, pekerja di bar dan panti pijat Berlian di kawasan Olimo – Hayam Wuruk Kota, Jakarta, mengaku dibuat kelimpungan. Biasanya, ia sudah standby di tempat kerja sejak jam 11 siang sampai jam 8 malam. Menetap di Bekasi, hampir setiap hari harus naik Commuter Line. Biar lebih irit.
Termasuk Ela, pekerja malam di Diskotek PS. Tak mungkin harus bertahan hidup di Jakarta, kemudian pilihannya balik hidup di kampung halamannya, Indramayu, Jawa Barat. Dentuman musik keras (house music) kini tak lagi mengajaknya happy alias bersenang-senang setiap malam.
Mereka yang merupakan pekerja seni di dunia hiburan malam, kini bagai ditelan bumi, menghilang begitu saja. Tak ada lagi wajah-wajah ceria. Sampai kapan situasi seperti ini bisa berubah? Yang jelas, jawabannya jangan sampai bertanya pada rumput yang bergoyang.■ RED/BAGIAN 1/BANG BOY