OLEH : HANNOENG M. NUR
JAMES B. DONOVAN ditugaskan untuk membela Rudolf Abel. Dan, ia merasa gamang. Insting nasionalisme Donovan sungguh amat menolak untuk bekerja membela Abel. Tak aneh, karena Donovan adalah nasionalis sejati atas negerinya Amerika Serikat, sedang yang harus dibelanya adalah Rudolf Abel, lelaki yang mata-mata Uni Sovyet.
Sutradara Steven Spielberg mengangkat kisah itu ke dalam film yang diberinya judul ‘Bridge Of Spies’. Spielberg sangat bagus mengangkat perang bathin James Donovan (Tom Hanks) dan keteguhan sikapnya melawan ketidak-sukaan publik, karena ia membela Rudolf Abel (Mark Rylance).
Dalam dunia nyata, seorang pengacara memang kerapkali mengalami peperangan – dengan batinnya dan dengan pihak yang bertentangan dengan kiprahnya dalam membela sebuah kasus. Itulah wajah pembela keadilan – tak pernah mampu memuaskan semua pihak, termasuk dirinya sendiri. Keadilan memiliki beragam wajah, tergantung dari sudut pandang kepentingan apa melihatnya.
Profesi pengacara di Indonesia masih menjadi sebuah profesi yang unik dan memiliki grade khusus, seperti halnya profesi dokter atau insinyur. Dalam beberapa kasus malah seringkali terjadi profesi pengacara dianggap lebih hebat dibandingkan profesi lain, termasuk dokter. Ditambah lagi pada beberapa tahun terakhir muncul fenomena menjadikan seorang pengacara sebagai selebritis – dengan segala atribut yang bersifat materialistik. Mobil mewah, rumah mewah, perhiasan dan sejenisnya. Maka segera pula terbentuk imej bahwa identitas keberhasilan seorang pengacara adalah kemewahan.
Memandang lebih dalam dibanding sekedar bicara soal atribut-atribut yang bersifat entertainment (kemewahan dan performance), maka sesungguhnya profesi pengacara adalah sebuah profesi mulia, dimana keadilan hukum menemukan pintunya. Tak jarang seorang pengacara bahkan ditransformasikan oleh publik menjadi semacam pahlawan lantaran keberhasilannya membela tersangka, yang kasusnya menjadi sorotan publik.
Ketika Cicero di zaman Yunani memberikan pembelaan terhadap Caius Populius Laenas, sehingga mampu melepaskan tersangka pembunuh ayah kandung itu dari jerat hukuman mati, maka masyarakat pun terpukau dan segera saja memuji Cicero secara masif, bagaikan pahlawan. Apa yang dianggap tak mungkin terjadi, yaitu Laenas terbebas dari hukuman mati, secara mengejutkan bisa terjadi dan semua yakin itu karena kehebatan Cicero. Sejak itulah Cicero menjadi legenda di dunia hukum sepanjang masa.
Kepengacaraan memang memiliki “beban” sosial yang sangat melekat di tubuh dan jiwanya. Sebagaimana layaknya seorang dokter, maka seorang pengacara dituntut juga untuk bekerja menurut kaidah sosial, lepas dari ukuran yang bersifat materialistik.
Pada akhirnya kita harus kembalikan profesi pengacara ke dalam marwahnya yang sejati, yaitu bagian dari penegakan keadilan. Bahwa kemudian ada kontroversi atau polemik tentang “pengacara orang kaya” dan “pengacara orang miskin” tidaklah perlu terlalu dipermasalahkan.
Apa yang dilakukan oleh beberapa pengacara dengan memamerkan kemewahan, anggap saja itu bagian dari strategi marketing, bukannya secara negatif ditanggapi sebagai perilaku snobisme yang terkaget-kaget atas sebuah kesuksesan.
Intinya, seorang pengacara di dalam setiap aktivitas kerjanya pasti akan berhadapan dengan orang jahat. Orang jahat itu dimana saja – bisa saja ia adalah tersangka yang dibela, bisa saksi, bisa jaksa, bahkan juga hakim. Semua kejahatan harus dihadapi dan dikalahkan. Sebab begitulah semangat dan tanggung jawab seorang pengacara. Seorang pengacara haruslah mampu mengalahkan kejahatan, termasuk kejahatan yang mungkin ada di pikiran dan hatinya.
Ukuran moralitas menjadi yang utama. Dan selama ada kejahatan, selama itu pula pengacara tetap ada.
“Jika tidak ada orang jahat, tidak akan ada pengacara yang baik.” (Charles Dickens). (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior POSBERITAKOTA)