Pemberlakuan KMT Mulai 25 Maret, KRL ‘Bisnis’ yang Menyusahkan Masyarakat

OLEH : HANNOENG M.NUR

MULAI 25 Maret 2021 besok, PT Commuter Line Indonesia (CLI) memberlakukan penggunaan KMT (Kartu Multi Trip) sebagai satu-satunya alat pembayaran atau tiket KRL di 10 stasiun. Pemberlakukan penggunaan KMT di 10 stasiun itu menyusul stasiun-stasiun lain yang sudah terlebih dahulu menggunakan KMT.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh PT CLI, seperti KMT itu membuat lebih efisien di dalam proses masuk dan keluar penumpang di stasiun, KMT mengurangi antrean panjang penumpang karena tidak ada proses pembelian tiket di loket, dan satu lagi, KMT meminimalisir penularan COVID-19 karena tak ada kartu atau tiket yang berpindah-pindah tangan.

Dari alasan-alasan tadi mungkin hanya satu yang dirasa masuk akal, yaitu minimalnya potensi penyebaran COVID-19 karena tak ada kartu yang berpindah tangan. Alasan-alasan lainnya bisa dianggap mengada-ada. Misalnya soal efisensi, sejauh mana masyarakat mengeluh pada proses masuk dan keluar stasiun yang selama ini berjalan?

Sepertinya masyarakat enjoy-enjoy saja tuh. Hampir tak pernah terdengar ada suara sumbang soal itu. Kalau pun ada keluhan masyarakat pengguna KRL, itu lebih pada masalah pelayanan dan ketersediaan armada kereta di jam-jam sibuk. Bukan soal efisiensi lalu lintas penumpang di stasiun.

Lalu, soal berkurangnya antrean di stasiun dengan penggunaan KMT itu, dikaitkan (lagi-lagi) dengan soal penyebaran COVID-19, sepertinya juga berlebihan. Benar bahwa antrean panjang memiliki potensi untuk terjadinya penyebaran virus COVID-19. Tetapi hal tersebut seolah menjadi ironis manakala kita lihat petugas di stasiun membiarkan penumpukan penumpang di setiap gerbong.

Logikanya, mana yang lebih berpotensi bagi terjadinya penyebaran virus COVID-19: antrean di ruang terbuka atau penumpukan penumpang di ruang tertutup seperti gerbong KRL? Kalau memang benar PT CLI concern terhadap soal penyebaaran COVID-19 ini, harusnya lebih kepada pengaturan jumlah penumpang di setiap gerbong. Kenapa hanya peduli di soal antrean yang punya kaitan dengan pembelian KMT dibandingkan dengan potensi bahaya yang lebih besar pada penumpukan penumpang dalam gerbong KRL?

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan komunitas KRL Mania langsung memberikan reaksi menolak atas keputusan pemberlakukan KMT itu. Menurut YLKI, apa yang dilakukan oleh PT CLI itu sudah berlebihan, membuat keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan konsumen pengguna KRL, terutama pengguna KRL yang tidak rutin setiap hari. Pengguna KRL yang tidak rutin memang jumlahnya sangat banyak setiap hari, dan mereka diharuskan membeli tiket seharga Rp.30.000,- dengan isi Rp.10.000,- Artinya, mereka harus membayar Rp.20.000,- untuk membeli tiket KMT yang hanya dia pakai sekali saja.

Angka Rp.20.000,- untuk harga tiket KMT memang menimbulkan kecurigaan: apa iya harga tiket elektronik itu harganya Rp.20.000,-? Tiket e-toll saja paling mahal hanya sekitar Rp.10.000,-, demikian juga tiket Tiket Harian Berjaminan (THB) yang dipakai untuk naik KRL sebelum ini, harganya pun hanya Rp.10.000,- Angka Rp.20.000,- mungkin kecil, tapi jika dikalikan dengan jutaan pengguna KRL non rutin setiap bulannya, angka berapa itu yang didapat? Hal ini membuat YLKI mensinyalir bahwa PT CLI sedang menjalankan bisnis penjualan KMT.

Bisa saja sebenarnya KMT diberlakukan, tapi dengan tanpa batas waktu masa aktif kartu. Sehingga orang bisa kapan saja menggunakannya. KMT ini punya masa aktif hanya 7 hari, setelah itu kartu tak lagi dapat dipergunakan. Terlihat sekali bagaimana PT CLI bermain di bisnis penjualan KMT ini. Namun gaya bisnisnya terasa kurang elegan.

PT CLI sebagai institusi bisnis boleh-boleh saja mengembangkan bisnis dalam konteks menaikkan income perusahaan. Hal itu juga dilakukan misalnya oleh PT Pegadaian Indonesia, yang membuka kafeGade” di beberapa cabang kantor pegadaian. Tetapi alangkah naifnya jiika pengembangan bisnis itu membebani konsumen. Tak perlulah pakai arogansi “kami dibutuhkan kok”, lalu dengan semena-mena memberlakukan aturan yang minim pertimbangan atas kepentingan dan kemampuan konsumen. Itu benar-benar tak cerdas, gaya yang perlu dibuka secara ‘transparan’, ada apa dibalik itu semua? (***)

(PENULIS adalah Redaktur Senior POSBERITAKOTA)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika