OLEH : HANNOENG M. NUR
SETIAP kali memasuki bulan suci Ramadhan tempat yang selalu ramai dikunjungi salah satunya adalah pemakaman. Jutaan umat Islam di Indonesia memasuki area pemakaman, menziarahi makam sanak saudara, sahabat, guru atau alim ulama. Dan, itu terjadi lagi saat menjelang Hari Raya Idhul Fitri. Sebuah ritual yang rasanya hanya terjadi secara masif di negeri kita.
Sebagai bagian dari salah satu bentuk budaya, maka ziarah kubur memang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Kita sulit untuk menyebut hal tersebut sebagai perwujudan synkretisisme yang masih tersisa, jika dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat Hindu, misalnya. Sebab umat Hindu memiliki tradisi Ngaben, yaitu mengkremasi jenasah. Tak ada kubur yang diziarahi.
Banyak bentuk ritual bernuansa keagamaan di Indonesia ini, terutama Islam, yang punya nuansa peninggalan pola syntretis dan itu masih berjalan sampai saat ini. Menyangkut soal kematian, misalnya, ada ritual selamatan 3, 7, 40 dan 100 harian, yang notabene tidak ada atau tidak dianjurkan di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Memang ada pembelahan pendapat tentang hal ini, tetapi perbedaan itu tidak melahirkan konflik, sebab hanya bermain di wilayah bid’ah, bukan halal-haram.
Bentuk yang khas dari wajah Islam di Indonesia, dengan segala keragaman ritual tersebut, membuat lahirnya istilah “Islam Nusantara”. Tak perlu lagi diperdebatkan soal istilah itu, karena akan terus berlangsung dan sulit menemukan jalan penyelesaian. Biarkan saja ada “Islam Nusantara” ada “Ahlusunah Wal Jamaah” dan sebagainya, selama yang tersentuh adalah wilayah furu‘ dan khilafiyah, bukan akidah. Kalau Syi’ah dan Islam Jamaah itu perlu diredam perkembangannya, karena memang melanggar batas akidah. Buat saya, Islam yang teroris itu justru adalah Syi’ah dan Jamaah, lantaran mereka menteror nilai-nilai kebenaran Islam dan menjerumuskan orang untuk berbuat sangat menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadist.
Terlepas dari diskursus ziarah kubur itu budaya Islam atau bukan, yang pasti memang ziarah kubur sangat dihargai oleh ajaran Islam. Bahkan ada pendapat bahwa “pelajaran paling utama tentang kehidupan manusia adalah ziarah kubur”. Benar adanya. Di dalam ziarah diharapkan muncul kesadaran tentang ruang dan waktu kehidupan. Seberapa lama manusia hidup, dengan hal apa saja ia mengisi kehidupannya. Kesadaran tersebut diharapkan mampu membawa para peziarah ke cara kehidupan yang lebih baik secara keimanan dan akidah.
Di dalam kaitan menjaga silaturahim terjadi juga saat ziarah. Yang dimaksud tentu saja adalah silaturahim hati dan pikiran, sebab secara fisik antara yang mati dan yang hidup telah terpisahkan. Seorang anak datang ke makam ayah atau ibunya, maka itulah wujud silaturahim kepatuhan dan penghormatan. Seseorang menziarahi makam sahabatnya adalah wujud silaturahim kekerabatan dalam konteks mengekalkan memori kebaikan yang pernah dilakukan almarhum. Demikian juga orang yang menziarahi makam para ulama.
Sampai di titik itu, tak ada yang salah dengan ritual ziarah kubur. Menjadi berlebihan dan tak masuk akal manakala yang berziarah melakukan acara “saling bermaaf-maafan” dengan almarhum. Bahkan lebih jauh lagi adalah meminta doa atau restu tentang sesuatu kepada almarhum. Aneh. Pasalnya, kematian adalah pemutus rantai hubungan antar manusia (habluminnas), sehingga tak ada lagi komunikasi antar manusia yang mati dan yang hidup dalam konteks duniawi. Yang tak terputus adalah dalam konteks hubungan antara manusia dengan Allah (Habluminallah), yaitu doa; doa dari yang masih hidup kepada yang sudah meninggal. Jadi saat kita mendoakan yang sudah meninggal maka yang terjalin adalah komunikasi internal antara manusia dengan Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan yang sudah meninggal? Yang meninggal akan menerima imbas kebaikan dari setiap ketulusan dan keikhlasan doa dari siapa pun. Memang setiap almarhum memiliki keinginan untuk menerima doa dari orang-orang yang tercinta semasa hidup, namun keinginan itu tidak bisa secara langsung diungkapkan. Apa lagi almarhum memberikan doa atau restu atas apa pun yang terjadi di alam dunia yang telah ditinggalkannya, tentu saja itu hal yang tidak mungkin terjadi di dalam logika keterpisahan alam antara alam dunia dan alam kubur. Jika prosesi atau ritual ziarah tetap terjaga dalam lingkaran doa maka akan baiklah niat berziarah itu.
Marilah kita berziarah dengan niat mendoakan dan mengenangkan kebaikan setiap almarhum yang kita datangi makamnya. In syaa Allah kelak makam kita akan pula didatangi oleh penziarah yang berniat baik seperti itu. (***)
(PENULIS adalah Redaktur Senior di POSBERITAKOTA)