JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Keluarnya aturan mulai dari PPKM Darurat dan kemudian berlanjut ke Level 3 sampai ke-4 memiliki tujuan sangat bagus. Mengurangi mobilitas warga masyarakat yang pada gilirannya agar angka kasus COVID-19 di Ibukota melandai turun. Fakta efektifitasnya tidak bisa dipungkiri.
Namun, apakah semua warga masyarakat terlihat patuh? Dari pemantaun langsung Team POSBERITAKOTA, di lapangan, tak semua benar. Di wilayah lingkungan sekelas kelurahan atau kecamatan, juga tak semuanya mau mematuhi. Pasalnya, mereka merupakan pekerja serabutan dan mencari nafkah hidup di sektor informal.
Sementara bantuan sosial (Bansos) belum merata diterima mereka. Kalau dalam kurun waktu selama 20 hari dan kemudian ditambah 5 hari serta 7 hari lagi, otomatis mereka butuh persedian makanan dan uang lauk pauk yang tidak sedikit. Program BST cuma Rp 300 ribu dibayar setiap dua bulan. Ada pula Bansos yang disebar masih secara acak.
“Kalau dapat BST dan Bansos, masih lumayan bisa buat istirahat di rumah antara seminggu atau 10 hari. Nah, kalau saya nggak dapat, mau makan apa?” Begitu keluh Rizky, ayah 2 anak, warga Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur.
Selama ini dirinya cuma bekerja serabutan. Jika tidak boleh keluar rumah untuk bekerja, menurutnya, hampir tidak ada persedian untuk di makan. Pernah bekerja di sebuah tempat hiburan di Jakarta, namun saat ini tak boleh beroperasi lagi.
Keluhan Rizky juga sama diutarakan Abdul Rahman. Warga Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, satu ini punya usaha jasa kebugaran (pijat tradisional). Hampir 6 bulan belakangan, sudah jarang didatangi pengunjung. Penyebabnya karena pemberitaan pandemi COVID-19 yang terlalu gencar.
“Terpaksa harus pasrah dengan kondisi yang ada. Sedangkan karyawan jadi banyak yang nganggur. Padahal sebelumnya bisa mengantongi antara Rp 150 sampai Rp 200 ribu setiap harinya,” tegasnya belum lama ini.
Yuli yang merupakan pedagang minuman kopi di pinggir jalan di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat, juga punya keluhan yang sama. Begitu pula, Guntoro sebagai pengojek online di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Belum lagi, Dito sebagai penjual minuman kemasan di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Mereka mengaku terpaksa harus keluar rumah, tentu saja demi mendapatkan penghasilan harian. Saat keluar rumah tetap harus mematuhi protokol kesehatan (Prokes), yakni memakai masker. Jika pas tidak ada petugas, ya dicopot, karena kalau pakai masker terus justru dada merasa sesak.
Sejumlah penjual jasa pengecetan mobil dan motor di kawasan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, terpaksan nekad keluar rumah. Mereka menanti para pemilik mobil atau motor yang kendaraannya ingin kembali mulus di cat duco. Dalam seharian, kata mereka, belum tentu dapat job.
“Saat ini kan masih situasi pandemi COVID-19. Jarang yang berani keluar rumah. Tapi, rejeki nggak akan ke mana, setiap hari selalu ada saja. Ya, walaupun cuma dapat Rp 100 sampai Rp 200 ribuan,” aku Romli, ayah 2 anak, yang sudah melakoni pekerjaan tersebut lebih dari 7 tahun itu.
Kehidupan di Ibukota Jakarta memang sangat kompleks. Warga masyarakat rada gampang-gampang sulit diatur. Penyebabnya, ya karena sangat minim mendapat edukasi hukum. Jangankan cuma peraturan yang dikeluarkan setingkat Gubernur DKI, kadang Undang-undang (UU) saja berani dilanggar.
Dari situlah merupakan pekerjaan rumah (PR) dari Pemerintah. Institusi setingkat Polda Metro Jaya dan Pemprov DKI Jakarta melalui bidang biro hukumnya, berperan di dalam mensosialisasikan atau memberikan edukasi hukum kepada masyarakat Ibukota Jakarta yang heterogen. (Bersambung).■ RED/TEAM PBK/ALD/DES/DEV/TAG/AYID/DNU/HBW/GOES