MENGINTIP POTENSI PEMAKZULAN JOKOWI DARI JALAN LOCKDOWN

OLEH : SUGIYANTO

BILA Lockdown dijalankan, lalu Presiden Jokowi tidak melaksanakan kewajiban pasal 55 ayat (1) UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, maka ia dapat dianggap melanggar undang-undang. Nah, dari sinilah Potensi Pemakzulan kepada Presiden Jokowi dapat terjadi.

Kemarin, selain mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 selama 7 hari, yaitu dari 3-9 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menjelaskan kebijakan Pemerintah tidak memilih Karantina Wilayah (Lockdown), melainkan menjalankan Kebijakan PPKM.

“Walaupun sudah mulai ada perbaikan, namun perkembangan kasus COVID-19 masih sangat dinamis dan fluktuatif,” kata Jokowi saat mengumumkan perpanjangan PPKM, dalam tayangan YouTube Sekretaris Presiden, Senin (2/8/2021) lalu.

Meskipun Presiden Jokowi telah menjelaskan pilihan kebijakan PPKM, namun masih ada saja anggapan di masyarakat yang terus menyalahkan Jokowi karena tak menjalankan kebijakan Karantina Wilayah (Lockdown).

Permintaan Lockdown pertama kali disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pada akhir bulan Maret 2020. Ia meminta kepada Pemerintah Pusat agar Jakarta di-Lockdown, karena khawatir COVID-19 akan menyebar ke seluruh Indonesia.

Padahal, saat itu pada daerah-daerah lain seperti Bogor, Depok, Bekasi, Bandung, Tegal dan lainnya – juga telah menyebar wabah COVID-19. Sebab, setelah Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), daerah-daerah tersebut juga melakukan hal yang sama.

“Dan waktu itu, kami mengusulkan agar pembatasan juga tidak dilakukan hanya Jakarta, tapi Jabodetabek,” ucap Anies membuka alasannya meminta Lockdown saat wawancara pada Kamis (30/7/21).

Atas dasar pertimbangan yang matang meliputi baik kemanusian, ekonomi maupun lainnya – Istana menolak permintaan Lockdown Anies Baswedan. Kemudian, Presiden Jokowi memutuskan kebijakan PSBB. Kebijakan PPKM Darurat, PPKM Level 4 dan lainnya adalah kelanjutan atau turunan dari kebijakan PSBB.

PSBB merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Sesungguhnya baik Karantina Wilayah (Lockdown) maupun PSBB bermakna sama, yakni untuk mencegah kemungkinanan penyebaran penyakit atau kontaminasi yang merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Perbedaan yang paling mendasar ada dalam pasal 55 ayat (1) UU tersebut. Bila Pemerintah memilih kebijakan Karantina Wilayah (Lockdown), maka selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat.

Dengan kondisi wabah pandemi COVID-19 yang menyebar sangat cepat ke seluruh daerah di Indonesia, maka sesungguhnya ketentuan pasal 55 ayat (1) tak bisa dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Boleh jadi baik Legislatif maupun Pemerintah ketika merumuskan aturan ini, tidak pernah membayangkan wabah penyakit menular seperti COVID-19.

Sebab memang sebelumnya tak pernah ada pandemi seperti COVID-19 yang bisa menyebar sangat cepat ke seluruh wilayah di Tanah Air. Dan, bahkan sampai ke negara-negara di Seluruh Dunia.

Sehingga mereka merumuskan pasal 55 ayat (1) dalam UU tersebut. Intinya, UU mewajibkan Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina selama dalam masa Karantina Wilayah (Lockdown).

Rasanya, sangat tak mungkin Presiden Jokowi mampu menjalankan kewajiban pasal 55 ayat (1) UU No 6 tentang Karantina Kesehatan. Sebab, Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas. Lagipula, anggaran sebesar apapun tak akan pernah cukup untuk menjalankan kebijakan Lockdown yang terjadi hampir secara bersamaan pada seluruh daerah di Indonesia.

Jadi, bila Lockdown dijalankan, lalu Presiden Jokowi tidak melaksanakan kewajiban pasal 55 ayat (1) UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan, maka ia dapat dianggap melanggar undang-undang. Nah, dari sinilah potensi pemakzulan kepada Presiden Jokowi dapat terjadi.

Meskipun partai koalisi pendukung Presiden Jokowi mayoritas di DPRD-RI, tetapi akan sangat menggangu Pemerintah bila masyarakat menganggap Presiden Jokowi melanggar UU. Padahal, penerapan Lockdown juga tidak serta-merta menjamin pandemi COVID-19 di Tanah Air bisa cepat selesai.

Andaikan saja Jokowi menjalankan kebijakan Lockdown, maka boleh jadi akan sanggat berdampak buruk bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Negara bisa bangkrut dan masyarakat juga akan mengalami banyak kesulitan.

Lockdown itu artinya tutup total. Kemarin yang namanya PPKM Darurat itu namanya Semi Lockdown. Itu masih semi saja saya masuk kampung, masuk daerah, semuanya menjerit untuk dibuka,” kata Presiden Jokowi.

Tetapi, meskipun Pemerintah tidak melakukan Lockdown, namun Jokowi tetap memperlihatkan keseriusan dalam menanggulangi bencana wabah COVID-19.

Anggaran besar hingga ratusan triliun rupiah digelontorkan untuk membatu masyarakat dan Pemerintah Daerah baik untuk Bantuan Sosial (Bansos), Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) maupun untuk lainnya. Termasuk untuk percepatan vaksinasi dengan tujuan menciptakan herd immumity (kekebalan kelompok) di masyarakat. (***)

(PENULIS adalah AKTIVIS JAKARTA)

Related posts

Sambil Bawa Bantuan, KAPOLRI Tinjau Posko di Pengungsian Erupsi Gunung Lewotobi NTT

Upgrade Skill Hingga Mancanegara, DR AYU WIDYANINGRUM Raih Penghargaan Bergengsi ‘Beautypreneur Award 2024’

Setelah Buka di Paris, RAFFI AHMAD Bikin Cabang Restoran ‘LE NUSA’ di Jakarta