OLEH : SHAMSI ALI
TERLEPAS dari kicauan dan gonggongan yang terkadang memuakkan dari media dunia, khususnya Barat, keluarnya Amerika dari Afghanistan adalah sesuatu yang perlu diapresiasi. Minimal keputusan itu merupakan “bisikan nurani” mengakui salah satu kesalahan Negara Adidaya ini dari masa ke masa. Sejak Vietnam, Irak hingga ke Afghanistan, semuanya telah menjadi kesalahan dan dosa sejarah yang memalukan.
Invasi Amerika di Afghanistan 20 tahun lalu itu sebuah kesalahan fatal yang diambil oleh pemerintahan GW Bush. Masih terngiang di telinga saya, di saat mendampinginya berkunjung ke Ground Zero. Di sanalah pertama kali Bush mendeklarasikan: “they will hear us” (mereka akan mendengar kita). Teman saya membisikkan ketika itu: “it’s a war declaration” (itu pengumuman perang).
Banyak yang ribut dengan keluarnya Amerika dari Afghanistan. Padahal yang harusnya diributkan selama ini Kenapa Amerika menduduki negara lain atas nama memerangi terorisme? Toh sekali lagi sejarah telah membuktikan bahwa Amerika gagal menangkap/membunuh Osama bin Laden di Afghanistan. Justeru Osama terbunuh di negeri Ali Jinnah (Pakistan) belakangan.
Afghanistan memang negara yang unik. Pada tataran tertentu menjadikan kita, atau saya pribadi, berdecak kagum. Negara itu kaya secara alam. Juga letaknya yang strategis, selain menghubungkan negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan, juga dikelilingi oleh negara-negara besar dan berpengaruh seperti Iran, India, Pakistan dan China.
Tapi kehebatan Afghanistan Sesungguhnya ada pada bangsanya. Bangsa ini dalam sejarahnya telah membuktikan mampu menaklukkan penjajah-penjajah dari kalangan bangsa-bangsa kuat dunia. Dari Inggris, Uni Soviet dan kini Amerika. Sebagai mahasiswa IIU Pakistan di akhir tahun 80-an (88-95), saya tahu betul panasnya jihad dan ruh Mujahidin di bumi Afghanistan ketika itu.
Sekitar Agustus 1992 itulah masa ketika Uni Soviet harus angkat kaki dari Afghanistan. Ada euphoria yang sangat tinggi di kalangan Umat Islam saat itu. Berbagai mimpi (atau slogan) tumbuh. Salah satunya: “dari Kabul ke Jerusalem”. Slogan “Khaebar Khaebar ya Yahuud. Jaesyu Muhammad saofa ya’uud” terdengar di mana-mana.
Tapi akhirnya apa yang terjadi? Darah anak-anak Afghanistan terus tertumpah di negeri itu. Jika darah di masa sebelumnya segar harum mengalir di bumi jihad itu, beralih menjadi darah yang berbau amis. Hal itu karena yang terjadi belakangan adalah peperangan antar kabilah. Masing-masing kabilah ingin pemimpinnya yang menjadi jagoan. Dari Sayyaf, ke Rabbani, Mujaddidi hingga ke Hikmatyar dan seterusnya.
Afghanistan pun tidak pernah pulih dari luka-luka lama akibat peperangan panjang. Pembunuhan dan saling membunuh, kerap juga atas nama membela agama dan kemuliaan seolah menjadi biasa. Kekuasaan juga silih berganti dari Sayyaf, Rabbani, Mujaddidi, hingga ke Hikmatyar dan lain-lain berlalu tanpa ada dampak positif bagi kehidupan orang-orang Afghan.
Bangsa Afghan memang bangsa yang hebat. Masih terbayang wajah anak-anak Afghan yang saya ajar di sekolah “Al-Hilal al-Ahmar As-Saudi” di pinggiran-pinggiran kampung Peshawar. Kerap di wajah mereka masih penuh dengan debu-debu bahkan tanah. Maklum rumah-rumah mereka hanya dari tanah liat, dan seringkali tanpa air untuk mandi. Air begitu mahal untuk sekedar minum dan masak. Tapi dengan semua kesulitan itu mereka hadir di kelas setiap hari dengan ceria dan senyuman.
Hingga akhirnya dua dekade lalu, di saat pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan mulai menggeliat. Tiba-tiba timbul lagi sebuah kelompok, konon dari sekolah-sekolah Islam (madrasah) di kawasan perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan. Mereka mayoritasnya dari kalangan suku Pushtu yang berbahasa Pukhtun. Itu terjadi ketika yang Pemerintahan Pakistan ada dibawah Presiden Musharraf yang sangat dekat dengan CIA.
Kelompok Taliban (arti literalnya pelajar) itu tiba-tiba secara misterius menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menaklukkan beberapa propinsi Afghanistan. Intinya mereka membentuk pemerintahan tersendiri di luar dari Pemerintahan Afghanistan yang berpusat di Kabul lbukota negara.
Sementara itu Amerika terus merasa terancam dengan keberadaan Osama bin Laden di Afghanistan. Sosok yang dibesarkan oleh Amerika sendiri. Kini punya pengaruh besar di kalangan mereka yang kecewa dan marah dengan dominasi Amerika di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah pasca perang Irak pertama.
Karenanya dijadikannya kelompok Taliban ini dengan harapan untuk mengeliminir sosok Osama. Kenyataannya Taliban tidak merasa itu kewajiban dan juga tidak etis secara iman untuk menghabisi Saudara Sendiri. Karenanya mereka justeru memberikan perlindungan kepada Bin Laden dan groupnya.
Akhirnya Amerika berbalik menjadikan Taliban sebagai musuh, bahkan dengan segala kemampuannya, termasuk kekuatan media, menjadikan kelompok Taliban sebagai kelompok terroris. Taliban pun menjadi musuh yang harus dieliminir. Tapi Pakistan yang punya kepentingan dengan eksistensi Taliban setengah hati menjadi untuk menjadi kaki tangan Amerika menghabisi Taliban. Taliban di Afghanistan berhasil diruntuhkan di beberapa wilayah. Tapi mereka yang di Pakistan justeru membangun kekuatan. Tidak mengherankan belakangan justru Bin Laden lebih nyaman tinggal di Pakistan.
Sementara itu di Afghanistan pemerintahan yang terpilih harus sejalan dengan keinginan Amerika. Mungkin dalam bahasa lain harus dari boneka-boneka Amerika. Hal ini menjadikan Taliban semakin termotivasi untuk mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. Maka sepanjang dua dekade terakhir, Taliban kerap membuktikan eksistensinya tidak jarang dengan wajah yang buruk. Termasuk melalui ragam bunuh diri yang telah menelan banyak nyawa dari kalangan sipil.
Dengan keputusan Amerika untuk meninggalkan Afghanistan, kini Taliban membuktikan bahwa mereka eksis. Bukan saja eksis. Tapi memiliki kekuatan dan ada di hati sebagian besar rakyat Afghanistan. Kalau tidak memiliki kekuatan dan tidak ada di hati mayoritas rakyat Afghanistan tentu Pemerintahan Kabul tidak secepat itu terjatuh.
Amerika sendiri sesungguhnya telah lama ingin keluar dari Afghanistan. Hanya saja memang selama ini harus mencari cara untuk menutup muka agar shamefulness‘ (rasa malu) itu dapat tertutupi. Hingga naiklah seorang Presiden yang tidak peduli. Selain karena memang tidak ada rasa malu, juga karena berotak hitung-hitung ekonomi. Tidak memiliki kalkulasi-kalkulasi pengaruh politik dan dominasi global. Itulah kelebihan dan sisi positifnya Donald Trump. Dialah yang mengeksekusi persetujuan dengan Taliban untuk meninggalkan Afghanistan melalui perjanjian Doha di Qatar.
Presiden Biden yang kini harus menanggung serangan kritikan, khususnya dari kalangan Republikan, hanya melaksanakan hasil persetujuan Pemerintahan Trump dan Taliban. Biden tentunya tidak mengatakan jika keputusannya menarik tentara US dari Afganistan itu sekedar melaksanakan keputusan pendahulunya. Agar nampak tegas Biden mengatakan “this the right decision for America” (ini keputusan yang benar untuk Amerika).
Apapun itu kini Taliban telah sepenuhnya menguasai Afghanistan. Media dan banyak pihak pun tidak berhenti menggonggong, menampilkan aspek-aspek kekurangan atau dipaksakan dinampakan sebagai ancaman. Kekacauan bandara Kabul misalnya ditampilkan berkali-kali seolah mewakili wajah negeri. Padahal pasukan Taliban masuk Afghan tanpa pertumpahan darah. Kenapa dunia tidak membuka mata dengan realita ini?
Tidak mudah memang bagi Taliban ke depan. Selain telah terlanjur terbangun narasi yang buruk, termasuk perlakuan yang tidak baik kepada wanita, dan lain-lain, juga dibangun narasi jika Taliban itu “violent group” (kelompok yang senang melakukan kekerasan). Narasi atau persepsi yang dibangun ini Sesungguhnya terbantah dengan realita kemenangannya tanpa pertumpahan darah.
Di saat-saat seperti inilah saya menantang kejujuran dunia internasional, termasuk Amerika, dalam menjunjung demokrasi di mana saja. Senang atau tidak, merasa mendapat manfaat atau tidak, Taliban adalah pemenang pertarungan di Afghanistan. Pertarungan yang sejatinya diapresiasi karena tidak terjadi secara destruktif yang berlebihan.
Kenapa dunia tidak memberikan ruang kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk membuktikan jika mereka mampu mengelolah negara mereka sendiri? Bahwa mereka punya paham dan jalan tersendiri dalam pengelolahan itu, kenapa negara-negara lain harus peduli dan ribut karenanya?
Masalah penafsiran dan pemahaman agama itu masalah domestik yang akan mengalami dinamika dan transformasi tersendiri. Jika selama ini ada pemahaman atau penafsiran agama yang kita tidka setujui, termasuk dalam hal pendidikan wanita, hal itu mungkin karena sekedar ekspresi resistensi dengan tendensi sosial yang dilihat sebagai titipan orang luar (baca Barat).
Boleh juga karena memang latar pendidikan mereka yang perlu diarahkan ke arah yang lebih baik. Di Amerika sendiri ada kelompok-kelompok agama yang tendensinya “talibanisme”. Yang parah kemudian jika pemahaman agama ini didukung oleh kepentingan politik. Apalagi jika pemahaman atau sentimen agama itu terpakai sebagai alat resistensi kepada kekuatan luar (Amerika dan Barat).
Karenanya Amerika dan dunia internasional harus jujur dengan nilai demokrasi yang dijunjungnya. Berikan hak kepada Taliban dan bangsa Afghanistan untuk bekerja dengan baik dan maksimal. Siapa tahu di bawah Pemerintahan Taliban Afghanistan akan lebih baik dibanding pemerintahan boneka yang selama ini terbentuk.
Pada akhirnya saya berharap bahkan yakin bahwa negara Islam terbesar dunia Indonesia, diharapkan memainkan perananan untuk menjembatani berbagai kesalah pahaman yang ada. Di satu siai saya yakin Indonesia tidak punya banyak kepentingan di Afghanistan. Di sisi lain Taliban melihat Indonesia sebagai negara netral secara politik. Sekaligus sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia.
Karenanya perananan Indonesia akan banyak membantu menetralisir keadaan dan cara pandang dari berbagai kutub yang bertolak belakang. Dari yang melihat Taliban sebagai ancaman. Tapi sekaligus menetralisir cara pandang Taliban kepada mereka yang berbeda paham.
Saya yakin jika keterlibatan Indonesia m akan mampu mempengaruhi cara pandang atau Wawasan Taliban tentang dunia. Baik pada aspek politik dan agama. Dengan demikian Taliban bisa kembali merajut paham dan karakter politik dan agamanya rajutan moderasi. Mungkin rajutan ala Indonesia yang tetap negara Muslim yang besar. Tapi juga mampu merangkul pihak-pihak yang lain dan hidup dalam satu rumah dengan rukun dan damai.
Semoga Indonesia bisa mengambil ini sebagai momentum yang baik dan memainkan salah satu peranan signifikannya di dunia global. Dunia akan mengapresiasi jika Indonesia mampu tampil menjadi jembatan yang kokoh dan indah di antara aspirasi Taliban dan kekhawatiran dunia. Insya Allah! (***)
(PENULIS adalah Presiden Nusantara Foundation, tinggal di New York, Amerika Serikat)