OLEH : SHAMSI ALI
SALAH satu keniscayaan hidup yang tak terhindarkan adalah kenyataan bahwa segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup ‘makhluk’ (ciptaan) pasti berakhir. Yang abadi, tiada akhir selamanya hanya Dzat Yang Maha Pencipta.
“Semua yang ada di alam semesta akan berakhir (faniah). Dan kekallah Wajah Tuhanmu yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia” (Ar-Rahman: 26-27).
Karenanya, perlu kita pahami tentang sebuah realita kehidupan yang dikenal dengan istilah “al-maut” (kematian) itu. Karena sesunggguhnya kematian adalah satu dari sekian peristiwa yang paling nampak (riil) dalam hidup manusia. Tapi pada saat yang sama banyak di antara manusia yang lalai, bahkan tidak peduli.
Berikut beberapa realita dari peristiwa kematian yang diabadikan dalam Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW.
Pertama, bahwa kematian itu Sesungguhnya adalah proses alami (natural process) dan menjadi bagian integral (integral part) dari kehidupan itu sendiri. Artinya ketika ada kehidupan realitanya ada kematian. Dan kalau berani hidup juga berarti siap untuk mati.
Allah menegaskan ini dalam Al-Quran: “Dia Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amalan” (Al-Mulk: 2).
Kematian adalah bagian dari putaran kehidupan (cycle of life) yang bersifat menyeluruh (wholly in nature). Dan seorang Mukmin tidak memisahkan di antara fase-fase kehidupan. Sehingga semua proses dan tingkatan yang terjadi dalam hidupnya menjadi konsep kesatuan yang terintegrasi (integrated).
Kedua, kematian itu adalah sebuah kepastian yang diyakini oleh semua makhluk. Dan karenanya kematian identik bahkan memang salah satunya dimaknai sebagai “al-yaqiin” atau keyakinan.
Al-Quran menegaskan: “dan sembahlah Tuhanmu hingga keyakinan (ajal) tiba kepadamu” (al-Hijir: 99).
Kenyataan ini dapat terlihat pada kenyataan bahwa kerap kali orang-orang kuat dan sehat menyadari bahwa mereka akan mati. Hanya saja mereka lalai dan salah persiapan. Mereka lebih mempersiapkan pekuburan yang mewah ketimbang mempersiapkan amalan bagi keindahan hidupnya di alam kubur.
Al-Qur’an menegaskan: “mereka mengetahui hal-hal lahir dari kehidupan (materialis). Tapi kehidupan Akhirat mereka lalai” (Ar. Rum: 7).
Ketiga, walaupun kematian itu nyata, tapi pada sisi lain ternyata misterius. Seringkali menjadikan manusia tergeleng-geleng seolah kebingungan. Pasti terjadi tapi membingungkan tentang “when, where, how” (kapan, di mana, dan bagaimana).
Artinya kematian itu tidak diketahui kapan akan terjadi, di mana akan terjadi dan bagaimana akan terjadi. Ada teman yang pernah mengirimkan uang ke kampung untuk dipersiapkan baginya pekuburan keluarga. Ternyata rumah abadinya tetap di Long Island NY.
Baru-baru ini juga seorang jamaah, peserta kajian Al-Qur’an Jumat pagi, mengirimkan foto cucunya yang meninggal padahal baru berumur 4 bulan. Ketika saya tanya sakit apa? Ternyata bukan karena sakit. Bahkan malamnya masih video call dan sehat disusui ibunya. Keesokan subuh sang anak yang mungil itu telah tiada. Penyebab dan waktu kematian ternyata menjadi bagian dari misteri itu.
Al-Quran menegaskan: “dan tidak seorangpun yang tahu apa yang akan dikerjakan di esok harinya. Dan tidak seorangpun tahu di bumi mana akan meninggal dunia” (Luqman: 34).
Keempat, kematian itu adalah peristiwa yang pasti terjadi dan tak mungkin terhindarkan. Kerap kita dengan perasaan “kemampuan” yang ada pada kita merasa bahwa kemampuan itu akan menghindarkan kita dari realita ini. Kenyataannya terkadang justeru usaha untuk menghindar itu malah jadi jalan bagi kematian untuk menemui kita.
Al- Quran menegaskan: “dan katakan (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya kematian yang kalian berusaha berlari darinya niscaya akan menemuimu” (Al-Jumu’ah: 7).
Beberapa waktu lalu ada seseorang yang karena kemampuan finansialnya, ketika sakit terbang jauh ke Jerman. Ternyata karena penerbangan yang memakan waktu dan cukup melelahkan itu, sebelum sempat ditangani oleh Dokter Jerman beliau lebih awal ditemui oleh malaikat maut. Berusaha untuk selamat dari kematian. Tapi kematian ternyata menunggu di tempat yang diasumsikan sebagai pelarian dari kematian.
Kelima, kematian itu tidak memilih-milih (indiskriminatif). Siapa saja dan apapun keadaannya ketika memang waktunya telah tiba akan mati. Kaya miskin, kuat lemah, sehat sakit, tua muda, dan seterusnya tidak menjadi penghalang bagi kematian.
Fir’aun yang sangat berkuasa mati. Qarun yang sangat kaya mati. Nuh yang lama hidup mati. Yusuf yang ganteng juga mati. Orang-orang baik dari kalangan nabi, sahabat Rasul, dan mereka yang saleh mati. Orang-orang jahat, termasuk para penjilat seperti Haman juga mati.
Keenam, kematian itu terjadwal secara rapih. Artinya kematian itu jadwalnya fixed. Ketika jadwal tiba maka pasti terjadi. Tidak bisa diundur dan juga tidak bisa dimajukan.
Al-Quran menegaskan: “dan ketika ajalnya tiba mereka tidak bisa meminta penundaan dan juga tidak bisa meminta percepatan” (Al-A’raf: 34).
Ketujuh, di saat kemarian terjadi maka sungguh berat dan menyakitkan (painful). Ketika sakarat (sakratul maut) dan ketika nyawa dicabut maka itu adalah momen-momen tersulit dalam kehidupan seorang insan. Pertama, karena itu momen perpisahan dari dua hal yang menyatu begitu lama. Perpisahan antara jasad dan ruh. Kedua, karena di momen itu terbuka benteng pemisah antara “alam fisikal” dan “alam gaib”. Seseorang yang sakarat ketika menengok ke belakang akan sedih (painful) karena melihat mereka yang dicintai akan ditinggalkan. Tapi ketika menengok ke depan nampak alam baru (kubur) yang belum dipersiapkan dengan baik (menyesal).
Tapi yang juga memang berat dan pedih adalah ketika ruh/nyawa seseorang dicabut. Salah satu ayat yang menjelaskan sakarat kematian itu adalah: “dan datanglah masa sakarat itu. Yang kalian dahulunya berusaha hindarkan” (Qaf: 19).
Rasulullah sendiri menggambarkan keperihan ketika ruh seseorang dicabut: “perumaan rasa sakit ketika nyawa dicabut bagaikan tiga ratus kali tebasan pedang”.
Kedelapan, kematian adalah kejadian yang hanya akan terjadi sekali dalam hidup manusia. Karenanya ketika seseorang telah berhadapan dengan kenyataan itu dia ingin agar kematian itu dilambatkan. Bahkan ingin untuk dikembalikan lagi ke kehidupan ini untuk berbuat yang lebih baik.
Al-Quran menegaskan: “wahai Tuhanku sekiranya Engkau melambatkan kematianku sekejap agar aku bisa bersedekah dan menjadi bagian dari orang-orang yang saleh. Dan Allah tidak akan melambatkan kematian seseorang ketika ajalnya telah tiba” (Al-Munafiqun: 10-11).
Pada ayat lain Allah berfirman: “hingga datang kematian kepada seseorang di antara mereka, dia berkata: wahai Tuhanku kembalikanlah aku. Agar aku dapat berbuat kebajikan atas apa yang telah aku tinggalkan (sia-siakan)” (Al-Mukminun: 99-100).
Kesembilan, kematian adalah ukuran sikap bijak dan kepintaran seseorang. Bayangkan ketika seseorang sadar bahwa dia pasti mati. Tapi kenyataan hidupnya mengatakan seolah hidup ini untuk selamanya. Itulah prilaku zholim pada diri dan bentuk kebodohan yang luar biasa.
Karenanya, Rasulullah SAW bersabda: “orang yang bijak/pintar itu adalah yang selalu melakukan penghisaban (mengukur) diri sendiri dan berbuat untuk kehidupan setelah kematiannya” (At-Tirmidzi).
Demikian beberapa realita kematian yang perlu untuk menjadi renungan sekaligus nasehat untuk kita semua. Tentu peringatan ini tidak menjadikan kita “down” (melemah) dalam perjuangan membangun dunia kita. Justeru kematian itu mendorong kita untuk lebih giat dan sungguh-sungguh dalam beramal (ibadah) sebagai bagian dari persiapan kita menghadapi realita terbesar hidup kita. Semoga! (***)
(PENULIS adalah CENDEKIAWAN MUSLIM dan PRESIDEN NUSANTARA FOUNDATION, kini tinggal di JAMAICA CITY, AMERIKA TENGAH)