KECERDASAN BERPIKIR SESEORANG HARUS DILAWAN PAKAI IDE CEMERLANG, BUKAN DENGAN NIAT HATI YANG BURUK UNTUK MENYINGKIRKAN

OLEH : AGUS SANTOSA

TINGKAT kecerdasan seseorang yang terlontar, kadang berbanding terbalik dengan sang penerimanya. Artinya apa, secara implisit belum tentu bisa diterima, jika lontaran pemikiran atau ide-idenya tersebut – sangat mengganggu kepentingan – kepentingan baik yang terlibat langsung maupun orang diluar persoalan yang tengah disasar atau dikritisi.

Fakta bahwa jika sudah didasari oleh faktor kecerdasan berpikir dari seseorang, dipastikan punya niatan atau obsesion demi kebaikan. Atau, tidak kemudian ngaco alias asal-asalan, apalagi karena diembel-embeli punya niatan negatif. Sasaran yang dituju adalah bagaimana agar menuju ada perbaikan atau perubahan itu kelak bisa dicapai.

Contoh paling gamblang adalah dalam sebuah organisasi (yayasan-red), jelas tidak lepas dari maindset (pola pikir) dari orang per orang yang terlibat di dalamnya. Yang bisa diukur yaitu dari latar belakang akademis, pekerjaan, profesi, pergaulan di masyarakat maupun faktor keluarga. Kadang bisa juga diukur sampai sejauh mana yang bersangkutan kerapkali terlibat dalam diskusi-diskusi formal dan non formal.

Namun secara umum, kecerdasan menurut perspektif psikologi pendidikan, jelas merupakan kemampuan mental seseorang untuk merespon dan menyelesaikan problem dari hal-hal yang bersifat kuantitatif dan fenomenal.

Penulis mencoba mengutip pendapat Howard Gardner dan Antony Wilker, keduanya masing-masing dikenal sebagai tokoh pendidikan dan psikolog terkenal dari Amerika Serikat (AS) yang mencetuskan teori tentang kecerdasan majemuk atau multiple intelligences.

Baik Howard maupun Antony sepemikiran bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Bahkan mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual yang mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Nah, seperti yang penulis maksud dalam konteks berorganisasi (yayasan) di lingkungan, jangan serta merta alergi terhadap lontaran kritik atau pemikiran konstruktif. Seyogyanya ‘balaslah‘ dengan ide-ide atau cara berpikir yang cerdas (cemerlang) pula. Jadi, bukan lantas underestimate atau cenderung meremehkan.

Sangat tepat dan pas, yakni terhadap sosok pemikir yang sesekali melontarkan pemikiran-pemikiran dan berada dalam organisasi (yayasan), justru harus dijadikan potensi bagi arah atau tujuan perubahan maupun perbaikan. Jangan ekstrem dengan menginginkan sosok tersebut harus ‘keluar‘ atau ‘disingkiran‘, apalagi dibekali dengan niatan hati yang buruk.

Justru kecerdasan berpikir dari orang yang bersangkutan, harus dilawan dengan melontarkan pula ide-ide cemerlang lain. Sehingga pada gilirannya banyak pemikiran – pemikiran atau ide-ide lain tersebut, bisa dimanfaatkan untuk tujuan akselerasi (percepatan-red) bagi perbaikan atau perubahan di dalam organiasi (yayasan) itu sendiri. Jadi, tolong jangan sampai gagal paham. Semoga! (***)

(PENULIS adalah Wartawan Ibukota dan pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, tinggal di Bekasi)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika