Jangan ‘Beternak Kebodohan’, Sekalipun Banyak Investor Siap Membiayai

OLEH : EEP SAEFULLAH FATAH

UBAHLAH cara mengaji yang ‘keliru‘ manakala kita hanya mengaji tekstual semata-mata tanpa peduli kontekstual. Umat Islam harus berhenti membuat ‘kerumunan‘ (hanya sebatas mengumpulkan massa), tetapi bangunlah ‘barisan‘ (organisasi dan jaringan).

Berhentilah meluapkan ‘kemarahan‘ (emosional yg destruktif), mulailah bangun ‘perlawanan‘ (legal dan konstruktif). Kecerdasan politik umat harus diasah terus menerus. Sehebat apapun seorang politisi, kalau kecerdasannya tidak sesuai kontekstual, tidak akan berguna.

Teknologi merupakan salah satu ‘kendaraan politik‘ tercanggih abad 21. Sedangkan PQ = POLITICAL QUOTIENT atau Kecerdasan Politik, unsurnya ada 3 point:
(A) Kemampuan membangun ‘Kesadaran‘ politik; (B) Kemampuan membentuk ‘Kekuatan‘ politik; (C) Kemampuan merebut ‘Kesempatan‘ politik;

Dalam hal unsur ‘Kesadaran‘ politik ada 3 point: (A) Pengetahuan; (B) Empati; dan (C) Aktivasi.

Pengetahuan seseorang terhadap kondisi politik tidak serta merta membangun kesadaran politik. Empati seseorang menjadikan pengetahuan politiknya hidup dan lalu menjadikan seseorang bergerak (aktivasi).

Suara umat Islam pada Pemilu 2014, yang diwakili partai Islam hanya 31%. Umat Islam mayoritas, namun tidak menjadi kekuatan politik.

Contoh lain tidak adanya ‘Kesadaran‘ politik, misalnya tidak adanya mobilisasi dana infaq Jumat masjid se-Indonesia untuk disumbangkan ke Rohingnya. Hak politik pun harus ditegakkan secara individu yakni hak sebagai warga negara. Sifatnya fardhu ‘ain. Dengan cara bangunlah kesadaran akan hak-hak sebagai warga negara;

Kalau kita harus ‘bangun‘, maka harus ada ‘kekuatan‘ untuk bangun. Kalau kita mau ‘menang‘, maka harus ada ‘kesadaran‘ untuk menang.

Unsur ‘Kekuatan‘ politik terdiri atas 4 point: (A) Memperkuat diri sendiri (B) Memperkuat kelompok (C) Memperkuat organisasi dan (D) Memperkuat jaringan

Tidak ada Islam tanpa berjamaah. Tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan. Tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Umat Islam suka membangun organisasi, tetapi tidak suka memperkuat jaringan.

Kapitalisasi hal-hal yang membuat kita kuat, sementara kelemahan kita, mari kita selesaikan dibawah meja. Jadikan masjid untuk membangun jaringan ke-Ummat-an, jangan jadikan masjid golongan dan kelompok.

Unsur ‘Kesempatan‘ politik terdiri atas 2 point. (A) Mempengaruhi kebijakan dan (B) Berkuasa. Kalau sedang tidak berkuasa, aktiflah pengaruhi kebijakan politik yang ada dengan berbagai cara (yang baik).

Informasi dan pengetahuan adalah kekuasaan, barang siapa yang menguasai keduanya mereka berkuasa. Jangan haramkan diri kita, kelompok kita dan organisasi kita berkuasa (eksekutif, maksudnya).

Kalau hal itu kita lakukan, kita hanya akan jadi korban kekuasaan, bukan subjek kekuasaan. Tidak ada peradaban dunia yang dibentuk oleh mayoritas. Peradaban dan perubahan itu dibangun oleh minoritas kreatif. Ketika semua orang mengatakan tidak mungkin, minoritas kreatif berkata mungkin dan dia menunjukkannya dengan data dan fakta-2. (Arnold J. Toynbee).

Politik yang cerdas itu ‘pertukaran‘. Sebaliknya, politik yang bodoh itu ‘transaksi‘. Jangan munculkan tokoh menjelang Pemilu, tetapi bangunlah tokoh tiap hari. Sepanjang hayat harus kampanye.

Kita harus mengubah umat Islam dari ‘massa‘ menjadi ‘warga negara‘, yang kualitasnya ada 5 point. (A) Jadilah warga negara yg tahu dan pandai menjaga haknya; (B) Warga negara itu tahu hak orang lain dan orang banyak dan tahu cara menunaikan hak tersebut masing-masing; (C) Warga negara itu mereka yang tidak tergantung kepada orang lain hanya kepada pemimpinnya, kecuali pd dirinya sendiri; (D) Warga negara itu proaktif tidak menunggu; (E) Melawan dengan cara beradab dan dewasa. (***)

(PENULIS : EEP SAEFULLAH FATAH adalah Pakar Politik Nasional dan kini tinggal di Jakarta)

Related posts

Rasanya Sulit Tembus 51 Persen, PILKADA JAKARTA 2024 Bakal Melalui Dua Putaran

Siapa Lebih Unggul di Pilkada Jakarta, DUEL STRATEGI Tim Sukses Prasetyo Edi Marsudi versus Ahmad Riza Patria

10 Tahun Era Jokowi, PERS NASIONAL Darurat Kelembagaan – Krisis Identitas & Expansi Bisnis Masif Kurang Etika