OLEH : PROF. DR. KH. NASARUDDIN UMAR, MA
LATIHAN untuk menguatkan telinga batin merupakan bagian dari perjuangan para Salik (spiritual traveler). Kebiasaan ini jarang dilakukan para awam. Yang banyak dilakukan orang ialah mengasah dan mempertajam mata batin. Padahal, organ tubuh dan pancaindra yang paling pertama berfungsi dan menyaksikan langsung suara Tuhan yang Mahalembut dan Mahaindah ialah pendengaran kita. Itulah sebabnya telinga selalu disebutkan sebagai urutan pertama di dalam penyebutan indra-indra kita di dalam Al-Qur’an.
Lihat, misalnya, dalam ayat : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawab”.(QS. al-Isra’/17:36). Semua ayat yang menjelaskan pancaindra manusia selalu menempatkan pendengaran (al-sam’) yang pertama.
Kontemplasi untuk membuat telinga batin sensitif biasa disebut sama’ atau di Jawa disebut sima’an, di Turki dikenal dengan shema’, dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menghayati sebuah lagu atau irama tertentu melalui pendengaran. Aktifitas sama’ di dalam praktik tasawuf merupakan suatu hal yang lazim.
Hampir semua praktisi tasawuf mencintai suara merdu dan irama indah. Jalaludin Rumi, seorang sufi seniman menciptakan model tarekat dengan memadukan lagu, irama dan gerak yang lebih dikenal dengan sema‘ atau whirling dervisher. Para praktisi sufi di dalam dunia suni pun dengan sama’.
Bahkan, Imam al-Gazali menyuguhkan satu bab khusus tentang kedudukan seni (religius) dalam Islam. Dalam bab itu, ia menyatakan orang yang tidak memiliki jiwa dan rasa seni dikhawatirkan hatinya kering dan perilakunya kasar.
Berbeda dengan umumnya ulama fikih, tidak begitu akrab dengan sama’ atau seni pada umumnya karena dianggapnya bid’ah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah. Bahkan, ada yang mengatakan bunyi-bunyian, seperti seruling (mazamir) adalah panggilan setan, dengan mengutip hadist Rasulullah yang merespon negatif sejumlah irama musik dan bunyi-bunyian dengan mengatakan pemanggil setan.
Namun dalam beberapa riwayat menyebutkan, Rasulullah mencintai seni, bahkan ia juga seniman, minimal pencinta seni. Bagi kalangan salikin menganggap sama’ sangat berarti untuk membantu dirinya lebih berfokus kepada suasana batin yang diinginkan.
Setidaknya ada (5) lima manfaat sama’ bagi para salikin :
Pertama, melalui sama’, yaitu menyimak dan menghayati lagu dan atau irama tertentu mereka dapat melembutkan jiwanya yang keras, meluruskan pikirannya yang selama ini sering bengkok, membersihkan, dan memutihkan hati yang selama ini kotor.
Kedua, para salikin dapat menjadikan sama’ sebagai sarana untuk membuka hijab-hijab yang selama ini muncul sebagai akibat lamanya ia berpisah dengan Tuhannya.
Ketiga, kalangan salikin saat menghayati sama’ mendengarkan kembali komitmen spiritual yang pernah ia ikrarkan kepada Allah SWT. Hampir setiap orang pernah menyesali perbuatan buruknya sambil berikrar untuk meninggalkan dunia hitam dan gelap itu lalu kembali ke jalan yang benar. Melalui sama’, ikrar dan komitmennya bisa diperbarui kembali dengan menjalani kehidupan baru yang bebas dari noda dan dosa.
Keempat, ketika para salikin berada di dalam majelis sama’, ketika itu mereka berusaha mencontoh sahabat-sahabat spiritual dan para mursyidnya yang tanpa beban penuh perhatian dan fokus menghayati sebuah irama lagu dan musik yang mengandung nasihat-nasihat luhur.
Kelima, kalangan salikin dapat menjadikan tradisi sama’ untuk menjadikan telinganya lebih sensitif terhadap pesan-pesan Tuhan. Bunyi-bunyi halus di berbagai tempat bisa dimaknai sebagai pesan yang amat berharga bagi manusia.
Kita perlu mengingat, sebagian wahyu yang diterima Rasulullah SAW yang berupa bunyi-bunyi lonceng. Lalu, Rasulullah SAW menerjemahkannya ke dalam bahasa visual. Inilah wahyu paling sulit diterima Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (***)