29.1 C
Jakarta
20 April 2024 - 21:13
PosBeritaKota.com
Nasional

Khutbah Idhul Adha 1443 H di Istiqlal, KH MUHAMMAD NUH Bicara Semangat Gotong Royong Perkuat Sendi Kebhinekaan

JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Syukurilah nikmat dengan cara (bisa) bersyukur. Karena hanya sedikit hamba-hamba Allah SWT yang pandai bersyukur (QS: As-Saba’:13). Dan, bersyukur bukan hanya atas pemberian nikmat, tetapi juga atas dihilang-hindarkan dari musibah. Kita sendiri tidak tahu musibah apa yang akan terjadi, dan betapa banyak musibah yang semestinya terjadi, tetapi Allah SWT hindar-hilangkan musibah itu.

Demikian intisari khutbah yang disampaikan KH Muhammad Nuh dihadapan seratusan ribu jamaah Sholat Ieds (Idhul Adha 1443 H/2022 M) yang memadati Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (10/7/2022). Turut hadir Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Menhan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu serta Duta Besar dan perwakilan negara-negara sahabat.

“Marilah, kita senantiasa bersyukur dalam keadaan apapun. Dan, salah satu di antara ciri khas nikmat Allah SWT adalah bersifat kontinyu, terus menerus. Hanya sesekali terjadi diskontinuitas, namun periode diskontiunitasnya sangat jauh lebih kecil dibanding periode kontinuitasnya,” ajaknya dengan kalimat teduh.

KH M Nuh memaparkan bahwa terjadinya diskontinuitas tersebut semata-mata untuk mengingatkan, agar manusia sadar jika selama hidupnya sudah mendapatkan nikmat tersebut. Sebagai contoh, berapa kali manusia mengalami sariawan (stomatitis aphtosa) di mulut-bibir-lidahnya. Dengan sariawan yang hanya dua hari saja, rasanya hidup ini sangat tidak nyaman dan terganggu. Dan, bandingkan dengan berapa lama kita terbebas dari sariawan.

“Maka dengan menggunakan Teorema Limit (matematika), perbandingan tersebut akan menghasilkan bilangan tak berhingga atau infinit. Dari sifat kontinuitas ini, maka tidak ada alasan sama sekali bagi kita untuk tidak bersyukur,” tuturnya.

Mencoba menukil atau menyitir Ibn Atha’illah dalam Al Hikam (199) disampaikan bahwa nikmat itu dirasakan betapa besar nilainya, setelah nikmat itu tercabut. Besarnya nikmat mampu melihat baru terasa, disaat kita mengalami gangguan penglihatan.

“Maka itu, saya ingin mengajak semuanya untuk memperkuat keimanan dan ketaqwaan kita. Keimanan yang tidak hanya meyakini tentang adanya alam semesta (makhluk) yang bersifat nisbi, tetapi juga meyakini seyakin-yakinnya adanya Allah SWT sebagai Pencipta (Cholik). Satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan bersifat mutlak,” tegasnya.

Selanjutnya, kata KH M Nuh, harus pula meyakini Rasulullah Muhammad SAW sebagai Rasul-NYA. Keyakinan yang tidak hanya meyakini tentang adanya alam syahadah (physical space), tetapi juga meyakini tentang adanya alam ghaib (cyber space). Keyakinan yang tidak hanya meyakini adanya masa kini, tetapi juga masa lalu (Para Rasul dan kitab-kitabnya sebelum Rasulullah Muhammad SAW) dan keyakinan adanya masa depan, setelah kehidupan dunia ini (alam barzakh dan akhirat).

Pada bagian lain, diungkapkan agar sesama manusia saling ingat mengingatkan dan ajak mengajak untuk senantiasa menjalankan dengan sebaik-baiknya (bukan sekadar menjalankan) perintah Allah SWT dan Rasul-NYA dan menjauhi (bukan sekadar meninggalkan) segala yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-NYA. Baik dalam dimensi personal maupun sosial, mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh. Semua itu akan menjadi orang-orang yang sholeh secara personal dan sholeh secara sosial.

“Jadi, sebaik-baik orang adalah orang yang paling banyak memberikan kemanfaatan bagi manusia,” tegas KH M Nuh, mengutip sabda Rasulullah SAW.

Menurutnya lebih lanjut bahwa kemuliaan seseorang, ditentukan oleh kemampuannya dalam memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan. Dengan menggunakan mafhum mukhollafah (logika balik), maka ketidak-muliaan (kehinaan) seseorang itu, ditentukan oleh kemudharatan atau penderitaan yang harus ditanggung orang lain akibat perilaku dan perbuatan dirinya. Semangat untuk senantiasa memberikan kemanfaatan (Anfa’isme), kita jadikan sebagai nilai (value) dalam kehidupan kita.

MAKNA IBADAH HAJI

Dikatakan KH M Nuh bahwa sekarang ini saudara-saudara Muslim sedang menunaikan Ibadah Haji setelah masa pandemi COVID-19. Mereka dan kita tentu sangat rindu untuk menjadi dhuyufurrahman. “Marilah, kita doakan agar prosesi ibadah hajinya lancar dan mudah-mudahan Allah SWT menjadikannya sebagai Hajjan Mabrur, Sya’yan Masykur, Dzanban Maghfur dan Tijarotan lan Tabur. Dan semoga kita semua yang sudah berhaji, Allah SWT tetap menjaga dan merawat kemabrurannya, dan bagi yang belum berhaji, semoga Allah SWT mentakdirkannya bisa menunaikan ibadah haji di tahun-tahun mendatang. Allahumma Amin,” ungkapnya.

Kembali dijelaskan KH M Nuh bahwa dalam salah satu do’a thawaf diungkapkan, prosesi ibadah haji itu merupakan ‘simbolisasi’ perjalanan menuju Allah SWT. Dengan keikhlasan sebagai landasannya (semata-mata karena Allah), bersemangat dalam berikhtiar dan optimisme sebagai budayanya (sebagai konsekuensi dari prinsip tauhid), membangun untuk meraih kehasanaan (’kejayaan’), baik masa kekinian (ad-dunya) dan kenantian (al-akhirat) serta terbebasnya dari kepedihan api neraka (kesulitan, kerumitan dan kepedihan hidup) sebagai cita dan tujuannya. [QS:2:201].

Sedangkan dalam prosesi Ibadah Haji tidak dikenal perbedaan berdasar unsur primordial (suku dan ras). Yang ada hanya hamba dan tamu Allah SWT. Ibadah Haji merupakan titik temu antar beragam etnik, suku, bangsa, profesi dan status sosial-praktek kebhinekaan, bukan saja kebhinekaan dalam satu Bangsa dan Negara, tetapi lintas Bangsa dan Negara.

Menurut KH M Nuh terkait Ibadah Haji adalah ibadah yang penuh pergerakan, sangat dinamis dalam dimensi posisi (ruang) dan waktu. Itulah perjalanan hidup, selalu bergerak dalam dimensi ruang dan waktu, yang dalam pergerakannya tersebut berujung (kembali) kepada Allah SWT [QS:2:156, 21:93]. Yang tidak hanya diungkapkan pada saat mengalami musibah, tetapi sebagai pengingat bahwa apa pun yang kita lakukan muaranya adalah ketertundukan dan kepatuhan kepada yang Maha Kuasa dengan penuh keridhaan atau dengan keterpaksaan [QS:3:83,13:15].

“Pergerakan tersebut bukan dilakukan ’sendirian’, akan tetapi setiap orang melakukannya, sehingga terjadi pergumulan dan interaksi antar jamaah. Semangat ta’awun (saling membantu-kolaborasi-sinergi) dan ego sentris seringkali berbenturan dalam prosesi haji tersebut, dan itulah fakta dan realitas kehidupan,” kata KH M Nuh.

Dalam pandangan KH M Nuh, ada filosofi yang berbeda antara kompetisi-lomba (musabaqah) dan kolaboratif-sinergis (mu’awwanah). Dalam berlomba (fastabiqu: to be in advance), untuk meraih kemenangan harus mengalahkan yang lain. Untuk itu, yang menjadi jargon utamanya adalah indeks daya saing (competitiveness index).

“Untuk menjadi terbaik atau pemenang, tidak harus mengalahkan yang lain. Tetapi bisa menang bersama-sama, sukses bersama dengan besaran kemanfaatan (gain) ditentukan oleh besarnya kontribusi dalam berkolaborasi sinergi,” ulasnya.

Sedangkan kompetisi/tanafasa, ditambahkannya, berasal dari nafs/diri, nilai yang dikandungnya adalah ego-sentris untuk bisa mengalahkan yang lain. Ke-akuannya lebih dominan dibanding ke-kitaan. Tentu, yang kita harapkan adalah bagaimana kita bisa melakukan transformasi dari ‘saya’ atau ‘aku’ menjadi ‘kami’, dan ‘kami’ menjadi ‘kita’.

“Kekitaan sebagai spirit (value) sedangkan gotong royong dengan prinsip kesalingan (mutuality) sebagai aksinya. Tidakkah, sholat berjamaah (ke-kitaan) memiliki nilai yang jauh lebih besar dibanding sholat sendirian (ke-akuan). Dan tidakkah, mendahulukan kepentingan umum (kekitaan), dibanding kepentingan diri (ke-akuan), termasuk bagian dari kemuliaan dan pengorbanan,” ucap KH M Nuh.

Dijelaskan dia lagi bahwa semangat ke-kitaan dan gotong royong yang dirintis oleh pendiri Bangsa dan Negara Indonesia, bukanlah sesuatu yang didapat secara serta merta (given), tetapi melalui proses yang panjang, kompleks dan berat. Berangkat dari titik persamaan, dikembangkan menjadi garis, bidang dan akhirnya menjadi ruang persamaan. Proses lahirnya NKRI, Pancasila dan UUD 1945 tidak lain adalah hasil dari semangat persamaan dan ke-Kitaan. Bukan semangat perbedaan dan ke-Akuan.

“Maka, tugas kita adalah menciptakan sebanyak-banyaknya ruang persamaan dan merawatnya dengan baik. Mulai dari kesaaman sebagai manusia ciptaan Allah SWT (ukhuwah basyariyah), sesama warga bangsa (ukhuwah wathoniyah), sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan titik-ruang persamaan lainnya,” tandasnya.

Tidak menafikan, diurai KH M Nuh, tantangan dalam membangun kekitaan semakin dinamis dan kompleks. Hal ini dikarenakan perubahan perilaku setiap generasi. Masing-masing generasi (Baby Boomers, Gen X, Gen Y, Gen Z dan Gen Alpha dst) memiliki keunikan perilaku sendiri. Untuk itu, desain, pendekatan dan paradigma membangun kekitaan juga harus mengikuti perkembangan zaman.

“Nah, setiap kali kita memasuki bulan Dzulhijah, kita diingatkan tentang pentingnya meneladani Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Ada beberapa nilai keteladanan yang bisa kita ambil, antara lain: (1) pentingnya hujjah atau pola pikir berbasis rasionalitas di dalam proses mencari kebenaran. Oleh karena itu dalam ilmu tauhid dikenalkan dalil aqli sebagai instrumen untuk mencari kebenaran. Dalam kondisi normal (obyektif-tidak ada interes tertentu) dalil aqli tersebut sifatnya lazim (common sense). (2) pentingnya membangun dalam skala dzurriyat (generasi bergenerasi), yang berbasis pada tiga hal: tilawah (skills), ta’allum (knowledge), dan tazkiyah (attitude). Dan (3) Kisah tentang kepatuhan Nabi Ismail AS terhadap Nabi Ibrahim AS. Kepatuhan sang anak kepada orang tuanya. Tentang pentingnya kesejatian Pemimpin dan kepemimpinannya (leadership) serta kesejatian pengikut dan kepatuhannya (followership),” papar KH M Nuh, panjang lebar.

“Harapannya, tentu saja akan menjadi semakin sempurna, di dalam membangun bangsa dan negara memiliki nilai spiritualitas. Yang manfaatnya tidak hanya selama di dunia saja, tetapi juga sampai di akhirat. Untuk itu, kita niatkan ikhtiar memajukan bangsa sebagai bagian dari ibadah. Dan, di sinilah pentingnya memahami secara utuh perjalanan kehidupan manusia,” sebut dia.

“Terakhir, yakni dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji dan keteladanan Nabi Ibrahim AS, maka kita semua dikaruniai kemampuan untuk menjadi inovator kebaikan. Khususnya dalam memperkuat semangat kekitaan dan gotong royong serta merawat dan memperkuat kebhinekaan kita. Tidakkah Allah SWT yang menjadikan kita semua ini dalam keragaman, agar kita bisa saling kenal mengenal,” kata KH M Nuh, menutup khutbahnya. ■ RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Di Hotel Sultan Jakarta, POLRI Terima Penghargaan dari Kemenpan RB

Redaksi Posberitakota

Saat Pidato Idhul Fitri 1445 H, RAJA SALMAN Beri Pesan & Minta Agar Perang di Gaza Segera Diakhiri

Redaksi Posberitakota

Bos KSP Indosurya Kembali Ditahan, KABARESKRIM Dapat Apresiasi dari LQ Indonesia Lawfirm

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang