Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal, ‘LORONG Sunyi Menuju Tuhan’

OLEH : PROF.DR.KH. NASARUDDIN UMAR, MA

SUNGGUH Allah subhanahu wata’ala Mahabesar sehingga para hamba-NYA bisa menemukan berbagai akses untuk mendekati-NYA. Allah subhanahu wata’ala betul-betul Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia telah membentangkan banyak jalan untuk mendekati diri-NYA. Di antara berbagai jalan itu dapat dikategorikan tiga jenis jalan, yaitu jalan makrifat (cognotive), jalan ibadah (devotion) dan jalan amal (activity).

Lorong makrifat banyak digunakan para salik atau lebih populer dengan jalannya para sufi atau kaum tarekat. Jalan ini menuntut pemahaman yang mendalam dan komperhensif. Jalannya pun tidak datar, tetapi kadang berliku dan turun naik.

Para penempuh jalan ini dituntut kesabaran dan istiqamah. Ia juga konsisten untuk terus mencari ilmu (bathin), baik melalui pembimbing (mursyid) maupun melalui penekunan olah bathin (riyadhah) untuk meraih inspirasi cerdas dari langit (divine knowledge).

Tidak ada ketentuan berapa lama seseorang harus mencari ilmu guna meningkatkan martabat keilmuannya. Ada orang-orang yang mencapai makrifat bertingkat-tingkat. Ada pula yang masih dalam kategori standar (a’wam), ada yang sudah level menengah (khawash) dan ada yang sampai ke level yang lebih tinggi (khawash al-khawash).

Lorong ibadah lebih menekankan aspek praktik ubudiah formal semacam memperbanyak ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, shalawat dan dzikir. Para penempuh jalan ini lebih banyak mendalami hukum-hukum fiqih untuk terhindar dari hal-hal yang terlarang, membatalkan ibadah dan untuk menyempurnakan ibadah-ibadah khusus mereka.

Hal yang dijadikan ukuran untuk menilai kadar kesalehan seseorang ditentukan dari pengalaman syariah. Semakin kuat ibadah seseorang semakin tinggi martabat sosial-spiritual orang itu. Sungguh pun pintar atau banyak amal sosialnya, tetapi kadar ibadah mahdah-nya rendah, maka seolah tidak diakui.

Lorong amal lebih menekankan aspek amal sosial. Sehebat apapun mahdah atau ke dalam makrifat seseorang, tetapi tidak memiliki amal sosial yang cukup, hanya dianggap sebagai kesalehan individual, bukan kesalehan sosial.

Kelompok ini percaya betuk bahwa kriteria keberagaman seseorang sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala di dalam surah al-Ma’un yaitu menyelesaikan masalah anak yatim dan fakir miskin. Orang-orang yang saleh secara individual, namun tidak memiki kesalehan secara sosial dikategorikan sebagai kelompok tradisional yang dianggapnya kurang relevan lagi untuk menjawab realitas sosial.

Antara satu kelompok dan kelompok lain tidak perlu saling melemahkan, tetapi mestinya dianggap sebagai sebuah kekayaan spiritual yang dianugerahkan Tuhan kepada hamba-hamba-NYA. Mungkin diantara mereka ada yang tidak bisa melalui jalur makrifat karena tidak punya waktu karena ia sebagai seorang pekerja profesional yang waktunya banyak tersita dengan pekerjaannya.

Ia juga tidak bisa menjadi praktisi ibadah mahdhah yang konsisten karena tuntutan dan volume pekerjaannya sangat tinggi. Ia hanya bisa menempuh jalan amal dengan membangun sarana dan prasarana sosial keagamaan, seperti masjid, pondok pesantren dan panti asuhan.

Mungkin juga ada orang yang tidak kuat secara ekonomi dan lemah dari segi kognitif, tetapi bisanya dengan jalan ibadah. Tidak perlu saling melemahkan satu sama lain. Hal yang penting semua penempuh lorong-lorong spiritual itu harus mengindahkan aspek fardhu ‘ain dalam Islam, sebagaimana diformulasikan oleh para fuqaha.

Inilah yang dimaksud dalam adagium : Man tafaqqaha wa lam yatashawwaf faqad tafassaka, wa man tashawwafa wa lam yatafaqqah faqad tazandaq, wa man jama’a baina huma faqad tahaqqaqa (Barang siapa yang berfiqih tanpa bertasawuf maka ia fasik, barang siapa yang bertasawuf tanpa berfiqih maka ia zindiq dan barang siapa yang menggabungkan keduanya maka ia benar). (***/goes)

Related posts

Kajian dalam Program Hikmah di Masjid Istiqlal Jakarta, BAHAS SOAL ‘Keutamaan Silaturahim’

Goresan Imam Besar di Masjid Istiqlal, IDHUL FITRI = Reinkarnasi Spiritual

Idhul Fitri 1445 H, PEMINTA & PEMBERI MAAF dalam Konteks Jatidiri Kemanusiaan