OLEH : AGUS SANTOSA
KETIKA sudah dicapai kata sepakat mendirikan sebuah lembaga (organisasi) yang berada di wilayah atau lingkungan manapun, meski tidak atau berbadan hukum – jelas harus punya komitmen pada aturan periode kepengurusan. Apalagi di situ nantinya harus memiliki semacam anggaran dasar dan rumahtangga (AD/ART), karena bisa sebagai bukti legalitas alias memperkuat peran ketua, bendahara, sekretaris dan jajaran pengurus.
Yang perlu dicatat adalah bahwa di setiap lingkungan pasti akan ada pihak yang paham terhadap bagaimana sejatinya atau idealnya sebuah lembaga (organisasi) itu sendiri. Ambil contoh yaitu soal keberadaan lembaga Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Jangan sampai ada lagi terjadi sebuah lembaga DKM yang berdiri, tapi tanpa ada periodesisasi kepengurusan.
Kenapa? Menurut hemat penulis, jika tanpa ada periodesisasi, bakal kecenderungan sulit dikontrol atau dikritisi. Mereka akan selalu secara subjektif merasa benar sendiri. Tidak ada yang mengawasi atau memberikan pembinaan secara pas. Padahal, seharusnya dengan adanya periodesisasi, justru bisa dilakukan evaluasi-evaluasi setiap masa bakti kepengurusan selesai.
Periodesisasi mulai dari tanggal, bulan dan tahun adalah catatan secara administratif. Siapa pun Ketua DKM-nya akan menjadi kuat, terutama makanakala belum demisioner. Sedangkan demisioner berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai keadaan tanpa kekuasaan. Karenanya pula keberadaan lembaga yang sudah demisioner, tak laik mengeluarkan kebijakan atau program-program.
Hal idealnya lainnya, jika lembaga tersebut selesai masa periodesisasinya – Ketua bersama Bendahara dan Sekretaris DKM, segerakan bikin laporan terkait masa tugas yang sudah dijalani. Termasuk detail laporan keuangan, sehingga ketika terjadi masa transisi pergantian ketua dan jajaran pengurus – semua menjadi jelas. Terbuka dan transparan.
Pakailah acuan atau tradisi yang lazim, bagaimana idealnya pembentukan atau pemilihan Ketua Lembaga DKM? Jika lembaga tersebut dibawah Yayasan, segera komunikasikan dengan Ketua Organisasai Yayasan. Bukan kepada Pembina Yayasan yang bukan pelaksana organisasi. Atau, bisa dengan cara berkomunikasi dengan pimpinan wilayah setingkat rukun warga (RW) di wilayahnya.
Apabila ingin memakai cara standar, tentukan lebih dulu siapa ketua dan jajaran kepanitian yang nantinya akan menjaring calon-calon atau kandidat yang bakal muncul. Tetapkan syarat utama dan mengikat, sehingga nantinya akan berproses pemilihannya bisa secara demokrasi dan terbuka/transparan.
Kalau pun nanti akan dilakukan folling suara, siapa saja wakil-wakil yang punya hak suara? Jadi, harus disepakati sejak awal dan peran Ketua Panpel harus tegas.
Jangan sampai terjadi ketidak-fairan, saat pemilihan suara atau folling, justru ada pihak yang tidak fair – membawa kelompoknya agar dominan dalam peraihan atau perolehan suara. Seyogyanya cara-cara ‘licik‘ tersebut, justru akan ‘melemahkan‘ Ketua DKM terpilih. Agar ideal ya mintakan saja untuk perwakilan 2 atau 3 orang setiap RT di wilayah tersebut.
Pada bagian akhir, penulis mengingatkan agar sebuah lembaga (DKM), tidak diniatkan untuk menguasai. Tapi, seyogyanya bagaimana perlu adanya elemen perwakilan dalam kepengurusan. Setelahnya, juga perlu membangun sinergitas (kerjasama) dengan lembaga tertinggi di wilayah. Kenapa tidak, ada unsur dari Yayasan atau dari wilayah RW setempat – didudukkan sebagai pembina atau penasehat?
Agar lembaga DKM bisa ‘clear‘ diterima di lingkungan, ya harus bersikap lebih aspiratif. Sosok Ketua DKM pun harus ‘dibela‘, manakala ada pihak yang mencoba ‘menyetir‘ tapi tanpa paham arti sebuah lembaga atau organisasi. Malah secara congkak, menyebut dalam lembaga itu tak perlu kebanyakan teori tapi harus praktek.
Nah, kalau prakteknya salah dan main seenak wudelnya sendiri dengan melanggar aturan lembaga, apakah kemudian harus terus didiamkan cara semena-mena seperti itu? Apalagi sampai berani main ancam-ancam yang terindikasi tindak pidana. Ketua DKM main seenaknya diatur, Bendahara dimaki-maki. Kalau sudah begitu, orang yang tak paham lembaga (organisasi) tersebut, ya harus diberi shock teraphy hukum. (***)
(PENULIS adalah Wartawan Ibukota dan Pemerhati Masalah Organisasi/Lembaga serta Sosial Kemasyarakatan, tinggal di Bekasi)