JAKARTA (POSBERITAKOTA) □ Setiap menjelang ‘Valentine Day‘ atau ‘Hari Kasih Sayang‘ yang rutin dirayakan pada 14 Februari, orang-orang selalu membicarakan cinta. Praktisnya, orang-orang jadi romantis dengan mengucapkan kata-kata puitis. Malah puisi-puisi tentang cinta jadi menyebar di mana-mana.
Melalui buku kumpulan puisi berjudul ‘Memo Kemanusia’ karya Akhmad Sekhu dan diterbitkan Balai Pustaka terdapat banyak puisi-puisi cinta. Namu ungkapan puisi cinta itu, bukan hanya pada lawan jenis. Ada pula lontaran cinta kepada orangtua, alam, kampung halaman dan bahkan cinta kepada Tanah Air.
“Cukup banyak orang mengangkat tema cinta dalam karyanya. Apalagi karya puisi paling banyak membahas tentang cinta,” ucap Akhmad Sekhu saat dihubungi POSBERITAKOTA, Sabtu (11/2/2023).
Diungkapkan pria kelahiran desa Jatibogor, Suradadi (Tegal) tersebut, buku ‘Memo Kemanusiaan’ memang banyak juga mengangkat tema cinta. “Kita hidup memang tak terlepas dari cinta, mulai dari kita lahir tentu karena cinta kedua orangtua kita, kemudian apalagi masa remaja yang mabuk kepayang akan cinta hingga dewasa yang matang disepuh masa karena cinta,” tuturnya.
Ditambahkan Sekhu bahwa buku ‘Memo Kemanusiaan’ memang banyak mengangkat tentang cinta. “Tapi buku saya tak melulu bicara cinta kepada lawan jenis. Tapi juga cinta kepada orangtua, alam, kampung halaman dan bahkan cinta kepada Tanah Air,” ucap dia.
Sekhu memaparkan di antaranya di buku tersebut, terdapat puisi ‘Gelisah Bisma’, sebuah episode Perang Mahabharata. “Aku gelisah bagai Bisma terbaring di atas panah-panah. Perasaanku terbelah di sebuah negeri yang selalu perang antar saudara sendiri, entah pada siapa aku harus berpihak. Tapi yang pasti aku sangat mencintai negeri ini, sebuah cinta yang harus selalu berkorban,” begitu tulisnya.
Sebagai alasannya, Sekhu bilang kalau dirinya memang sangat menyukai tokoh pewayangan Bisma yang baginya tokoh yang sangat mencintai Tanah Air daripada dirinya yang terbaring di atas panah-panah. “Tokoh Bisma dalam pewayangan memang heroik sekali, Wahai sang maut, aku berpesan jangan kau cabut nyawaku sebelum sesama saudara itu dapat melakukan perdamaian, betapa aku amat sangat cinta pada negeri ini melebihi cintaku pada diriku sendiri yang gelisah terbaring,” ujar dia.
Masih menutut Sekhu, puisi-puisi cinta kepada orangtua, yang terangkum dalam bagian ‘Pusaka Hidup’. Mulai dari puisi Nasi Goreng Bawah Merah, Konstruksi Ingatan Hakekat Kemanusiaan, Semerbak Sajak untuk Emak, Perempuan Pilihan Tuhan hingga puisi Pusaka Hidup. “Semua puisi dalam bagian ‘Pusaka Hidup’ memang saya persembahkan untuk ibu saya, Hj. Sumarti,” ungkapnya, penuh keharuan.
Terkait puisi-puisi tentang cinta yang dilahirkan, menurut Sekhu, memang bisa disimak dalam bagian ‘Pengantin Melati’ yang memang dipersembahkan sebagai kado puisinya kepada Wanti Asmariyani, sang istri tercinta.
Sedangkan untuk karya lainnya, ada puisi ‘Perkenalan Musim Semi’ yang bunyinya begini: “Hujan yang datang mencurahkan keberkahan, senyumku yang dulu beku kini mencair, kenangan kelam terhapus kesadaran serta merta luka lama langsung sembuh pula, mengerti dalam sebuah tanda perkenalan, terpetik melati di dalam hati nurani, musim semi kembali tumbuhkan cinta ini.”
Namun di dalam menulis puisi, Sekhu mengaku tak ingin terjebak dalam suasana romantis yang baginya akan melahirkan puisi-puisi cinta yang cengeng. “Karena bagi saya, cinta memang perlu logika, tak semata-mata hanya kata-kata puitis saja. Tapi bagaimana menyampaikannya yang memang memperhatikan logika, karena dalam hidup tak melulu hanya cinta. Jadi, bagaimana kita hidup selaras dengan cinta,” ujarnya filosofis.
Mengakhiri obrolannya, Sekhu menyampaikan jika penasaran dengan puisi-puisi cinta karyanya dalam buku ‘Memo Kemanusiaan’ bisa beli dan dapatkan di Gramedia seluruh Indonesia. “Syukur, alhamdulillah. buku Memo Kemanusiaan karya saya ini, sudah beredar di Gramedia seluruh Indonesia,” tutupnya. ■ RED/R. ALDIANSYAH/EDITOR : GOES