JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Bersyukurlah karena kita dikaruniai Iman dan Islam serta tinggal di Indonesia yang kaya raya. Kekayaan alam yang melimpah ruah di daratan dan lautan, bahkan di udara. Malah, negeri ini dijuluki sekeping taman surga di bumi. Keberagaman suku bangsa, bahasa, ras, agama, budaya dan adat istiadat yang terbingkai indah dalam kesadaran ke-Bhineka Tunggal Ika-an, keindahan persatuan dan kebersamaan dalam sekian banyak keberagaman.
Demikian pembuka khutbah yang disampaikan KH. A. Husni Ismail M.Ag selaku khotib sebelum pelaksanaan sholat Jum’at di Masjid Istiq’lal Jakarta dihadapan puluhan ribu jamaah, Jumat 17 Sya’ban 1444 Hijriah/10 Maret 2023 Masehi.
“Seyogyanya patut pula bersyukur karena Allah SWT telah dan masih menakdirkan kita hidup rukun, damai serta tenteram. Saling menghormati, tentang rasa, gotong royong, toleran juga seiring sejalan, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul,” lanjut khutbahnya.
Menurut KH. A. Husni, sungguh gambaran indah tentang keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa kita ini adalah salah satu gambaran realitas sosial yang termaktub dalam Al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 3 yang artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kami dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti“ (QS. al-Hujurat/49: 13).
“Kita semua berasal dari kakek nenek atau ayah ibu yang sama. Setelah itu berkembang biak menjadi berbagai suku bangsa agar saling kenal mengenal. Berkasih sayang, cinta mencintai, saling menujukkan identitas diri dan mengakui identitas yang lainnya. Menjalin kehidupan harmonis ditengah-tengah sekian banyak perbedaan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” urainya, melanjutkan khutbahnya.
Dunia, menurut KH. A. Husni, mengenal bangsa ini adalah bangsa yang ramah. Bila menyapa dengan penuh kesantunan, wajah-wajah cerah penuh keteduhan dan kebersahajaan. Gambaran keluhuran keadaban kita, terukir indah dalam sejarah penerimaan ajaran Islam yang damai oleh nenek moyang kita, juga dibawa pendakwah Islam awal. Sungguh, Islam diterima dengan baik tanpa ada peperangan, pertentangan dan pertikaian.
“Oleh karenanya, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa kiblat peradaan dunia Islam, saat ini ada di Indonesia. Betapa Islam rahmatan lil’alamin dan muslim yang berbudi pekerti luhur dan akhlakul karimah telah menjadi watak asli mengakar dalam kepribadian bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Kemudian, papar KH. A. Husni lebih lanjut, tidak kurang para ulama Timur Tengah, bahkan dalam khutbah dan ceramah mereka, memberi pengakuan akan hal ini. Mereka menyebut Indonesia sebuah negara yang teramat jauh dari Arab, dari pusat ke-Islaman, terletak di penghujung dunia, sanggup mengaktualisasikan ajaran Islam yang santun, ramah, toleran dan masyarakat Indonesia berakhlak mulia.
Bahkan, lanjut khutbahnya, dalam pergaulan umat manusia yang berbeda agama sekalipun, interaksi yang mesti dilakukan adalah jangan menonnolkan sikap merasa paling benar sendiri. Walahpun kita meyakini bahwa iman kita yang paling benar, namun dalam interaksi sosial kemasyarakatan dengan berlainan akidah dan anutan, Allah SWT menganjurkan sikap toleran, mengalah demi sebuah perdamaian dan kerukunan.
“Kita ini semua bersaudara. Dengan saudara seiman/kita sama dalam Rukun Iman dan Rukun Islam, walau berbeda dalam sebagian kecil pemahaman tentang teks Al-Qur’an dan Hadis. Terhadap saudara sebangsa dan se-Tanah Air/kita ditakdirkan hidup bersama dalam bingkai NKRI yang berdasar pada konstitusi yang sama. Begitu pula kepada saudara, sesama anak cucu Adam, sejatinya saling menghormati dan memuliakan.
Seperti termaktub dalam QS. al-Isra’/17: 70, dijelaskan KH. A. Husni, berfirman yang artinya : “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Masih dalam khutbahnya, KH. A. Husni menggambarkan, sungguh Kami (Allah SWT) telah menetapkan anugerah kemuliaan pada seluruh anak Adam, baik dari rasa dan suku bangsa apapun. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW berdiri menghormati kelompok orang Yahudi yang tengah mengantar jenazah. Berdirinya Rasulullah SAW tersebut diprotes oleh sahabat-sahabatnya, karena yanh diantar bukanlah jenazah orang Islam.
Kemudian, Baginda Nabi Muhammad SAW merespon keberatan para sahabatnya tersebut dengan ungkapan, ‘alaisat nafsan’, bukanlah jenazah itu juga manusia atau anak cucu Nabi Adam AS yang mestinya kita muliakan, karena Allah SWT telah memuliakannya.
Pada kesempatan berikutnya, Sahabat pun bertanya yang artinya : “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang amal perbuatan yang banyak memasukkan orang ke dalam surga, maka beliau menjawab : Taqwa kepada Allah SWT dan akhlak yang baik” (HR. Turmudzi dari Abu Hurairah).
Dalam kesempatan yang lain lagi, dihadapan sahabatnya, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Sungguh saya diutus bukan untuk melaknat dan memaki (seseorang atau suatu kaum), akan tetapi aku diutus untuk menebar rahmat dan kasih sayang” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sabdanya dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin Amr bin Ash, terjemahannya : Sunguh dosa besar adalah seorang mencaci maki ayahnya. Sahabat bertanya : Bagaimana mungkin seseorang mencaci maki ayah kandungnya? Maka, Nabi Muhammad SAW menjawab : “Seseorang mencaci ayah orang lain yang menjadi penyebab orang lain itu membalas mencaci maki ayahnya“.
Bahkan lebih lanjut, Islam melarang mencaci maki agama dan Tuhan orang lain, karena mereka akan membalas mencaci maki Tuhan kita. Hal ini tergambar dalam Al-Qur’an Surat al-An’am/6 ayat 108 yang artinya : ‘Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah, selain Allah SWT, karena mereka nanti akan memaki Allah SWT dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami (Allah SWT) jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Lalu, dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”
Terakhir disampaikan KH. A. Husni dalam khutbahnya, mengutip firman Allah SWT di surat At-Taubah ayat 6 yang artinya : “Apabila ada orang musyrik yang memohon perlindungan kepadamu, maka berilah perlindungan, hingga mereka mendengar kalimat Allah SWT. Tafsiran dari memperdengarkan kalimat Allah SWT adalah memperlihatkan keindahan dan kesantunan ajaran Islam. Mari semua kita menjadi juru dakwah yang mendakwahkan keindahan Islam dengan beraklakul karimah, karena inilah inti dari diutusnya Baginda Nabi Muhammad SAW (QS. At-Taubah/9: 6) ■ RED/AGUS SANTOSA