Soal Hak Angket ITF, LEGISLATOR GILBERT SIMANJUNTAK Pertanyakan Urgensi & Pembatalan Proyek Bisa Dibahas di Komisi

JAKARTA [POSBERITAKOTA] – Buntut dibatalkannya pembangunan pengolahan sampah yang menghasilkan listrik di Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara, mendapat respon legislator DKI Prof Gilbert Simanjuntak. Karenanya, ia mempertanyakan urgensi penggunaan hak angket dan menyarankan sebaiknya dibahas dengan melakukan penajaman lewat komisi.

“Saya melihatnya bahwa ada miss komunikasi dan kenapa muncul RDF (refuse derived fuel) tanpa dikomunikasikan? Hal itu dipertanyakan lalu dilanjutkan dengan rapat-rapat berikut. Bukannya harus langsung hak angket, gitu lho? Jadi, melalui rapat kerja komisi saja, itu dipertanyakan,” pinta Prof Gilbert yang dihubungi, Kamis (10/8/2023).

Dalam pandangannya bahwa hak angket merupakan hak yang melekat bagi setiap anggota dewan. Namun, hak angket itu bermuatan politis dan digunakan ketika yang bersangkutan tidak mendapat jawaban dari pihak eksekutif.

“Maka yang paling benar itu adalah mencari data. Berkali-kali saya tegaskan, demokrasi itu akan dewasa kalau semua bicara menggunakan data,” imbuh politisi dari PDIP Perjuangan tersebut.

Menurut Prof Gilbert bahwa dari hak angket, kemudian apa yang mau diharapkan? “Juga, apa yang mau diangkat? Sedangkan datanya saja belum punya. Jika sudah begitu, nanti mau membahas apa?” Begitu paparnya, lagi.

Dikatakan Prof Gilbert, alasan eksekutif lebih memilih RDF, ketimbang ITF bisa didiskusikan di rapat kerja Komisi B, C dan D DPRD DKI Jakarta. Begitu pun pernyataan Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekda DKI Jakarta, Sri Haryati, juga bisa menjadi bahan pendalaman bahwa finansial menjadi salah satu alasan membangun RDF, bukan ITF.

“Namun tadi dalam rapat dikatakan bahwa kenapa sudah diputuskan dulu (pembangunan ITF). Iya itu kan memang dulu anggarannya ada dan sekarang tidak ada. Terus mau dipaksakan dari mana? Mau jual tanah? Mau jual Monas?” Demikian ucapnya.

Berdasarkan paparan yang diterima Prof Gilbert, pembangunan ITF memang menyedot biaya yang cukup besar hingga Rp 3-4 triliun. Hal itupun belum termasuk biaya pengolahan sampah atau tipping fee kepada mitra swasta. Sedangkan pembangunan RDF hanya di kisaran Rp 800 miliar. “Jadi secara sepintas saya melihat RDF itu biayanya lebih rasional, sedangkan ITF itu biayanya jumbo dan tidak masuk akal,” katanya.

Prof Gilbert juga mempertanyakan rapat Komisi B dan C DPRD DKI Jakarta soal Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang dianggap menyalahi regulasi, karena batal membangun ITF. Karenanya, dia mengingatkan, tidak ada penjelasan secara spesifik bahwa DKI harus membuat ITF.

“Nah, itu sangat berpotensi (melanggar aturan). Belum terbukti dan saya sudah pertanyakan di mana (melanggar), karena saya sudah baca bahwa Perda-nya tidak menyebutkan ITF Pergub-nya saja yang menyebutkan ITF. Kemudian PP (Peraturan Pemerintah) menyebutkan pengolahan sampah,” urainya.

Pada bagian akhir, Prof Gilbert menyarankan Pj Gubernur DKI untuk merevisi atau mengeluarkan Pergub baru terkait ITF. Adapun Pergub yang dimaksud adalah Pergub Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Lanjutan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolaan Sampah di Dalam Kota/Intermediate Treatment Facility (ITF).

“Jika Perda tidak ada yang ditabrak dan PP juga tidak ada yang ditabrak. Pergub itu kan produk dari Gubernur. Iya tinggal dikeluarkan saja Pergub baru,” pungkasnya. © [RED/AGUS SANTOSA]

Related posts

Dihadiri Cagub Ridwan Kamil, ADI KURNIA Bersama AKSI Berbagi 5000 Sembako Murah di Condet Jaktim

Bukan Hanya dari Tokoh Masyarakat Jakarta, PRAMONO – BANG DOEL Kantongi ‘Peluru Emas’ Dukungan Ulama & Habaib

Arahan dari Kapolres Jakpus, PENYULUHAN ANTI TAWURAN & Kenakalan Remaja di SMPN 10 Jakarta