OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
KATA ism dalam arti ‘nama‘ terulang 33 kali di dalam Al- Qur’an dengan berbagai macam bentuk. Penyebutan dan penulisan basmalah pada ayat pertama surah Al-Fatihah tentu memiliki makna tersendiri, terutama jika dikaitkan dengan penggunaan kata ism di dalam berbagai ayat. Penyebutan basmalah sesungguhnya bisa dimaknai semacam lafaz penahbisan (consecration word) atau dalam tradisi tasawuf disebut pemberkatan (tabarruk).
Ayat yang pertama kali diturunkan ialah lqra’ bi ismi Rabbik alladzi khalaq (Bacalah dengan menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (QS. Al-Alaq (96): 1). Ayat ini secara eksplisit memerintahkan Nabi untuk menyebut nama Tuhan sebelum perintah lain dilaksanakan. Ayat yang paling pertama mengawali Al-Qur’an ialah Basmalah. Bahkan, basmalah muncul di setiap surah (kecuali surah At-Taubah).
Dalam melakukan upacara tertentu seperti penyembelihan hewan, Allah subhanahu wata’ala di dalam beberapa ayat menegaskan perlunya menyebut nama Allah SWT sebelum menyembelih hewan kurban di antaranya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah SWT terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah SWT kepada mereka maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-NYA, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah SWT)” (QS. Al-Hajj (22): 34).
Menurut syariat Islam, hewan yang dipotong tidak membaca basmalah menyebabkan daging hewan itu tidak halal untuk dikonsumsi karena dianggap bangkai. Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Ahmad Ibn Hanbal. Hanya ada beberapa pendapat mengatakan asal disembelih oleh orang Islam (Muslim), daging itu tetap halal. Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafi’i dengan merujuk kepada hadis: “Sembelihan orang Islam adalah halal walaupun tidak menyebut nama Allah SWT atasnya” (Lihat Ibn Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari Sharh Sahih Al-Bukhari, Juz 9 h.636).
Betapa penting basmalah itu sehingga menentukan halal disembelih dan tidaknya sebuah objek konsumsi. Binatang yang tanpa menyebut nama Allah subhanahu wata’ala dagingnya disebut daging bangkai dan haram untuk dimakan.
Dalam ayat lain diungkapkan: “Dan janganlah kamu memakan binatang – binatang yang tidak disebut nama Allah SWT ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan – kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (QS. Al-Maidah (6): 121).
Menurut Ibn ‘Ajibah dalam tafsirnya; Al-Bahr Al-Mudid, ayat ini mempunyai cakupan makna yang amat dalam. Ia menjelaskan bahwa apa pun yang kita makan tanpa menyebut nama Allah SWT (basmalah) maka kita termasuk fasik.
“Sesungguhnya yang dimaksud ayat ini ialah memakan sesuatu tanpa membaca atau meniadakan penyebutan nama Tuhan atasnya termasuk perbuatan fasik (berbuat kerusakan), yaitu meniadakan penyebutan nama Tuhan pada penyembelihan itu perbuatan fasik di antara para setan, dan sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan – kawannya dari orang-orang kafir agar mereka membantah kamu dengan ucapan: Dan jika
kamu menuruti mereka, untuk menghalalkan yang haram atas
kalian.”
Lebih lanjut Ibn Ajibah menjelaskan bahwa: Bukan dimaksud membaca basmalah secara lafziyah ketika mengkonsumsi makanan atau lainnya, tetapi menghadirkan Yang Punya Nama (Allah subhanahu wata’ala), yaitu menyaksikan (shuhud) Sang Pemberi Nikmat ketika menikmati sebuah nikmat. Karena waktu yang didominasi oleh jiwa seyogianya bagi seorang sedang menyebut nama Allah SWT hendaknya tenggelam dalam mengingat kepada Allah SWT. Oleh karena bila aktifitas harian seperti makandan yang lainnya yang dianjurkan untuk menyebut nama Allah SWT dalam setiap permulaannya dengan penuh kesadaran maka hal tersebut termasuk dalam ketaatan dan penghambaan dalam setiap aktifitas seperti makan, minum, dan setiap keadaan. Namun, bila sebaliknya, lalai (ghafil) dari menyebut dan
mengingat Allah SWT maka aktifitasnya termasuk kefasikan (Lihat Tafsir Ibn ‘Ajibah, Juz 2 h.302-303). © [Bersambung/goes]