OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
SESUAI dengan namanya, shala berasal dari kata shala-yushla, kemudian membentuk kata shalla-shalah(t) berarti doa, zikir, dan ketaatan. Derivasi kata tersebut lahir kata wushlah (sambungan), shilah (hubungan), washl (tersambung), wishal (ketersambungan), shaulah (sambungan) dan shalaa (ketersambungan).
Shalawat Allah kepada hamba-Nya artinya menyampaikan ajakan kepada hamba-Nya yang utama untuk mendekati diri-Nya dan menjadikannya sebagai khalifah di jagat raya. Hamba Tuhan tersebut disebut mushalliyan, yakni hamba yang mengikuti jalan kebenaran yang diamanahkan kepadanya (mustakhlaf fih). Hamba yang demikian ini menjadi wahana penampakan (madhhar) diri-Nya sebagaimana tergambar di dalam al-Asma’ al-Husna.
Shalawat Allah kepada hambanya dilukiskan dengan indah di dalam ayat, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. al-Ahzab [33]: 56).
Shalawah (t) dapat disandarkan kepada hamba dari satu sisi dan pada sisi lain dapat pula dinisbahkan kepada Tuhan. Jika shalawat disandarkan kepada Tuhan (al-Haq) maka kalimat “shalawah(t)” tersebut bermakna rahmat, kasih sayang, limpahan, kelembutan, kenikmatan, cinta, belas kasih, kebaikan, ampunan, dan ridha.
Jika dinisbahkan kepada manusia maka shalawah(t) bermakna doa, kepatuhan, ketenteraman, khusyuk, ketaatan kepada yang dicintai dan diridhainya. Kata shalawah(t) mengimplikasikan makna kedekatan, keakraban, dan cinta-kasih antara kedua belah pihak, yakni subjek dan objek shalat.
Hubungan (shilah) antara Allah dan hamba-Nya melalui hubungan khusus (shaulah) membuat hamba itu merasa tenteram, tenang, aman, damai, dan bahagia. Inilah yang yang dimaksud di dalam ayat, “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha (20]: 14) dan “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. ar-Ra’d [13]:28). Dengan demikian, shalat berfungsi sebagai wushlah karena menyambung antara dua bagian menjadi satu yang sebelumnya berpisah.
Shalat berfungsi sebagai shilah karena sebagai media penyampaian sebuah pemberian yang dimohon oleh sang pemohon. Shalat berfungsi sebagai shaulah karena menjadi sarana penghubung antara Sang Mahakuasa dengan sang makhluk yang lemah. Shalat berfungsi sebagai salwun karena sang hamba penyembah menyungkurkan diri kepada Zat Tuhannya Yang Maha Mulia. Sedangkan du’aun ialah permohonan dari sang hamba yang butuh kepada Tuhan Sang Pemberi (al-Wahhab).
Wushlah (komunikasi) antara Tuhan dengan hamba-Nya dapat terjadi dalam berbagai bentuk, tentang-Nya antara lain dengan cara penjelmaan, tanazul (turun), dan tadalli (pendekatan) sebagai rahmat, nikmat, kelembutan, karunia, pemuliaan, kebaikan dan berbagai kemungkinan lainnya. Shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah dengannya (shalawat tersebut) menyampaikan hamba-Nya yang sempurna menuju kepada-Nya, dan menjadikannya sebagai khalifah bagi-Nya kepada makhluk dan sebagai mushalliyan. Artinya mengikuti kebenaran (haq) yang diamanahkan (mustakhlaf fih) untuk ditampakkan berdasarkan bentuk-Nya dan penampakan sempurna dalam zat, sifat-sifat, asmaul husna, serta memberitakan tentang-Nya.
Demikian juga, Shilah (hubungan) penyatuan Allah kepada hamba-Nya melalui penjelmaan khusus secara zat dan penjelmaan asma bagi berbagai hakikat pilihan dan ujian, dan la memberinya (hamba) shaulah (koneksi) yang berasal dari Kehendak dan kekuatan-Nya terhadap seluruh musuhnya. Inilah makna shalawat dalam pembahasan kita ini.
Para ahli hakekat dalam ilmu huruf, memaknai kata shalawat tersusun dari seluruh hakikat pertalian berdasarkan dari pecahan katanya, yaitu, wushlah, shila, washlu, wishal, shaulah dan shalaa. Sifat-sifat tersebut merupakan subtansi atau hakikat pertalian, penggabungan dan hubungan. Perkongsian makna yang menghimpun dalam susunan – susunan ini adalah penggabungan, pendekatan, pengikutan dan penyatuan.
Makna wushlah adalah bersambungnya dua sesuatu yang bergabung dan bergabungnya dua sesuatu yang bersambung yang sebelumnya telah berpisah. Sedangkan shilah ialah menyampaikan pemberian yang diingini dan diminta dari Sang Pemberi kepada yang diberi. Kemudian shaulah adalah terkoneksinya sambungan gerakan qahriyah dari Allah kepada hamba. Adapun salwu ialah mencondongkan punggung untuk khusyu. Terakhir du’au ialah permohonan untuk sampainya apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.
Adapun “shalawat” hamba kepada Allah adalah merupakan pengembalian kembali dirinya kepada hakikat ciptaannya sebagai al-insaniya al-kamaliyyah al-kulliyah al-ahadiyah al-jam’iyyah, dan mengikatnya dengan kehadiran (khadhrah) yang dari sananya memikul bentuknya, dan darinya pula berawal dan berkembang.
Sementara lima kulliyah berdasarkan al-hadharaatul khamsah al-ilahiyah adalah pertama hakikatnya, yaitu al-‘ain al-tsabit yang bentuknya hanya dalam pengetahuan Allah sejak pertama pada zaman azali dan berakhirnya. Kedua, Ruhnya. Hakikat nafas rahmani yang terakses dari al-‘ain al-tsabit di atas. Ketiga, jasmaninya, yaitu bentuk dan posturnya secara fisik. Keempat,
hakikat hati, ahadiyah jam’i rohanianya dan tabiatnya. Terakhir aqal, adalah kekuatan yang dengannya dapat mencermati berbagai hakikat dan merasionalkannya, mengetahui berbagai ilmu pengetahuan baik secara global maupun detail. □ (***/goes)