JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Akibat krisis air bisa berdampak pada perubahan iklim. Oleh karenanya, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) – perlu mengingatkan bahwa hal tersebut diantisipasi secepatnya atau sedini mungkin.
Seperti dikatakan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, tentang kombinasi teknologi dan nilai-nilai budaya setempat menjadi kunci bagi Indonesia untuk berperan memberikan solusi kepada dunia dalam mengatasi persoalan krisis air dampak perubahan iklim.
“Dalam hal ini, kombinasi dari penggunaan teknologi serta kearifan lokal telah disepakati bersama menjadi formula yang paling pas untuk mengatasi krisis air imbas dari perubahan iklim,” ucap Dwikorita dalam diskusi bertema ‘Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim‘ yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (16/10/2923).
Menurutnya lebih lanjut bahwa
banyak negara di dunia mengalami kesenjangan kapasitas dan ketangguhan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan teknologi.
Dwikorita juga menambahkan bahwa ada gap yang besar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, negara miskin dan negara kepulauan dalam mengatasi persoalan permasalahan air ini.
“Untuk negara maju, tinggi dalam teknologi. Namun, negara berkembang, miskin dan kepulauan tidak seperti itu. Sedangkan di Indonesia, teknologi kita cukup baik. Bahkan, kita juga kuat di local wisdom (kearifan lokal). Kombinasi teknologi dan local wisdom, Indonesia bisa membantu di situ untuk menutup atau menjadi jembatan,” ungkapnya.
Namun mengacu hasil pemaparan Dwikorita yang mengambil sumber dari World Meteorogical Organization (WMO), 60% kerugian bencana di negara maju akibat perubahan iklim, kejadian cuaca ekstrem dan krisis air hanya menyebabkan dampak kerugian pada 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Tentu saja berbeda dibandingkan dengan negara berkembang, yakni 7% dari bencana dapat menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB mereka, bahkan hingga 30%. Terlebih bila dibandingkan dengan negara kepulauan kecil, di mana 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 50% dari PDB, dan beberapa melebihi 100%.
Mengacu dari data WMO, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim dan air terus berkembang pesat. Selama periode 2010-2019, kerugiannya mencapai US$1.476,2 miliar. Ini bertumbuh signifikan dibandingkan dengan dekade 2000 – 2009 yang tercatat sebesar US$ 997,9 miliar. Sedangkan selama dekade 1990-1999, kerugian yang dihasilkan berkisar US$ 906,4 miliar dan dekade 1980-1989 hanya sebesar US$ 305,5 miliar.
“Hal ini tentunya menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara kecil, berkembang, dan negara kepulauan dalam menghadapi krisis air dan kebencanaan, padahal mereka yang paling terdampak,” tutup Dwikora. © [RED/THONIE AG/EDITOR : GOES]