Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal, KETIKA AGAMA Kehilangan Daya Jihad

OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA

SETIAP agama menganjurkan kelembutan dan kekuatan berfungsi normal manakala kedua misi ini berjalan seiring. Agama tanpa kelembutan akan kehilangan akar di dalam masyarakat. Sebaliknya, agama tanpa kekuatan daya jihad akan kehilangan kontrol sosial. Agama harus mampu menampilkan kelembutannya kepada orang- orang yang mengikuti ajarannya dan harus bersikap tegas kepada mereka yang menentang ajarannya.

Bagi mereka yang taat akan diberi ganjaran surga dan ganjaran neraka bagi mereka yang mengingkarinya. Ini sejalan dengan ayat: Muhammad SAW itu adalah utusan Allah SWT dan orang – orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah SWT dan keridhaan-NYA, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (QS. al-Fath (48): 29).

Kekuatan daya jihad di dalam setiap agama amat diperlukan. Dalam Islam, misalnya, daya jihad diperlukan untuk menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan. Tanpa kekuatan ini, maka agama akan dikalahkan oleh nilai-nilai lain yang mungkin destruktif bagi kemanusiaan. Sebagai contoh, rezim kebatilan dan kekuatan tirani yang berkuasa di dalam masyarakat perlu diakhiri dengan mengedepankan kekuatan jihad.

Daya jihad juga diperlukan untuk memberantas kebodohan, kemiskinan dan berbagai kelemahan yang menggerogoti masyarakat. Namun, penggunaan daya jihad ini tetap harus berada di bawah kontrol ijtihad dan mujahadah yang terukur. Ijtihad ialah pengerahan kekuatan nalar umat di dalam mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agamanya. Sedangkan mujahadah adalah pengerahan aspek rohani umat di dalam menghayati nilai-nilai luhur agamanya.

Daya jihad, ijtihad dan mujahadah harus dianggap satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jihad tanpa kontrol ijtihad dan mujahadah bisa berpotensi melahirkan kekerasan. Karena itu, daya jihad tidak identik dengan kekerasan. Daya jihad juga tidak mesti harus ada yang menjadi korban. Jihad yang paling akbar kata Nabi adalah jihad melawan diri sendiri. Pencitraan positif terhadap jihad dalam Islam benar-benar diperlukan saat ini.

Daya jihad sesungguhnya sesuatu yang luhur dan merupakan bagian penting dalam agama (Islam). Namun, akhir-akhir ini kata jihad ternodai oleh sekelompok kecil warga umat yang menggunakan kekerasan di dalam menyelesaikan setiap persoalan keumatan. Semenjak maraknya terorisme dan bom bunuh diri yang mengatasnamakan agama, maka sejak itu kata jihad berkonotasi negatif, setidaknya menurut sebagian pandangan dunia Barat.

Islam minus daya jihad akan kehilangan roh. Semangat daya jihad inilah yang membuat dunia Islam mencapai kejayaan pada masa lampaunya, terutama dalam masa keemasannya. Perluasan (futuhat) dunia Islam sampai ke Afrika, anak benua India, Eropa, sampai ke Asia Tenggara merupakan bagian penting kekuatan daya jihad. Perluasan itu tidak dapat disebut ekspansi, apalagi kolonialisme karena mereka memilih Islam sebagai pilihannya sama sekali tidak melalui paksaan, tetapi dengan kesadaran sendiri berkat kesuksesan dakwah yang dijalankan oleh para penganjurnya yang menampilkan Islam sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang amat mengesankan.

Daya jihad pada agama tidak boleh digunakan untuk mempertahankan kebatilan. Sebaliknya, kelembutan agama tidak bisa digunakan untuk mendiamkan berlangsungnya kebatilan. Dengan kata lain, agama tidak boleh kalah terhadap kebatilan dan harus mendukung tegaknya kebenaran. Namun di dalam mendukung kebenaran itu tidak serta-merta harus ditegakkan dengan kekuatan.

Dalam Islam menyerukan kebenaran dilakukan dengan persuasif sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-NYA dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-Nahl (16): 125).

Al-Qur’an juga menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) (QS. al-Baqarah (2): 256). Jika ajaran sebijak ini tersingkir di dalam kehidupan, Tuhan dan para makhluk-NYA yang lain tentu tidak lagi akan respek kepada manusia dengan segala akibatnya. (***/goes)

Related posts

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, MERAMU IKHLAS dari Wafatnya Orang yang Terkasih

Kajian Jumat Pilihan di Masjid Istiqlal Jakarta, AKHLAK Terhadap yang Lemah & Susah

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, MAKNA ESOTERIS Kumandang Adzan