OLEH : AGUS SANTOSA
MEMBACA pola pikir hidup manusia, sebenarnya tak serumit belajar ilmu matematika di sekolah. Sebab, pola pikir seseorang bisa hidup dan punya kecenderungan positif, jika ditopang banyak hal. Mulai dari faktor kehidupan internal keluarga, pendidikan hingga bagaimana dirinya bisa bersosialisasi (bermasyarakat) sebagai faktor eksternal.
Bahkan, pola pikir seseorang bisa bergejolak, boleh jadi karena dipengaruhi oleh kemampuan meng-update ‘alam bawah sadar’-nya yang sangat lemah. Pasalnya, tak bisa mendeteksi atau merekam perilaku orang lain, sejatinya memiliki karakter baik, jahat atau sombong!
Nah, jika segumpal daging yang dinamakan ‘hati‘ dan kemudian dapat menimbulkan perasaan macam-macam pada diri seseorang, di situlah bakal mencuat jatidiri seseorang. Lantas jadi begitu gampang, karena faktor sulit mengangkat ‘alam bawah sadar‘, justru menjadikannya dominan sebagai pembenci.
Tak harus menjadi tua (usia) lebih dulu, seseorang menjadi ‘arif‘ dan ‘bijaksana‘ dalam koneksitasnya di kehidupan sehari-hari. Jika didasari oleh kemampuan berkomunikasi dengan baik, mau dan gampang bermasyarakat, niscaya bisa digambarkan sebagai pribadi yang linier terhadap lingkungan.
Tapi, belajar dari pengalaman yang ada, justru bisa jadi sebaliknya. Satu contoh : “Baik Saja Salah! Apalagi Sombong, Pasti Bakal Dibenci Orang’. Kenyataan – kenyataan seperti itulah, bisa menimpa siapa saja, karena dalam kehidupan kerapkali dihadapkan oleh pribadi-pribadi yang memiliki pola pikir, tanpa mau belajar dari kehidupan pribadinya.
Ini ada contoh faktual terhadap pribadi orangtua. Tinggal di satu lingkungan baru, setelah memasuki masa purna dari profesi atau pekerjaannya. Karena pengalaman profesi dan sebelumnya banyak bergaul dengan macam karakter diluar, saat memasuki lingkungan baru itu tadi, tentu tak serta merta ‘cuek‘ atau sama sekali tak concern pada lingkungan tempat tinggal barunya.
Namun apa lacur, jika respon dari pendahulu-pendahulu yang tinggal di lingkungan tersebut, berbanding terbalik. Atau, istilahnya ‘Sense of belonging‘ (rasa memilikinya terlalu berlebihan!). Terutama dalam pemahaman bermasyarakat. Meski jika kemudian dipertanyakan, apa sih yang telah diperbuat pada lingkungan. Adakah yang sudah banyak memberikan manfaat.
Bahkan jika ditelisik, ada bagian dari keluarganya (istri atau suami), justru sama sekali tak ‘care‘ pada lingkungan’. Melihat orang yang peduli, malah menjadi benci. Padahal, dalam banyak hal, dirinya seolah-olah berperilaku sudah ideal.
Sebagai contoh, sosok istri atau suami, nyaris tak mau atau sering banyak menghindar dalam pergaulan masyarakat. Pertanyaan kemudian, apa sih jejaknya di lingkungan – terutama dalam meninggalkan sisi kebaikan. Atau, boleh jadi juga, sikap-sikap pembenci yang muncul dalam dirinya, karena demi menutupi celah kekurangan-kekurangannya selama ini. Why not!?
Jangan sampai kemudian muncul pemikiran ‘picik‘ di lingkungan masyarakat. Awalnya tak kenal dan saudara pun bukan! Buat apa kita berbaik dengan lingkungan atau dengan sesama tetangga? Jika seperti itu, pribadi orang tersebut, memang belum dibukakan pintu ‘hidayah‘.
Atau, jangan-jangan karena jauh dari rasa hormat kepada orang lain, bisa dan patut dipertanyakan bagaimana bentuk rasa hormatnya pada orangtuanya sendiri. Jadi, faktor bekal agama, pendidikan formal/informal serta cara bergaul diluaran – ikut menentukan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat tinggalnya.
Faktor lain yang tak kalah penting, sikap-sikap seseorang yang kurang pandai bermasyarakat, juga dari bekal keilmuan. Baik itu sosial maupun keagamaan. Coba saja, jika menyadari kelak akan menjadi tua. Atau, setidaknya apabila mau belajar dalam hubungan manusia ke manusia (Habluminannas), rasanya tak terlalu parah dalam mensikapi betapa pentingnya pribadi kita, juga berprasangka baik kepada sesama.
Tentu, kondisinya sangat memprihatinkan manakala kita tahu ada pribadi atau seseorang yang ‘pintar‘ baca Al-Qur’an – sebagai ibadah untuk dirinya sendiri yang terhubung dengan Allah SWT (Hablumiinallah). Tapi, di dalam hubungannya dengan sesama manusia (Habluminannas) justru ‘jauh panggang dari api’.
Artinya apa? Boleh jadi cuma sekadar membaca Al-Qur’an saja, tapi tanpa paham akan isi atau makna yang dikandung dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an tersebut. Bisa dibayangkan, orang semacam itu tahu akan momentum Idhul Fitri, tapi malah jauh atau justru menghindar untuk melakukan silaturahmi : ber-Minnal Aidzin Wafai’dzin! (***)
(Penulis : Agus Santosa adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, Wartawan Senior dan kini tinggal di Bekasi)