OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
KETIKA Nabi Musa AS berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang guru, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.
Lalu sang guru menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku” (QS. al-Kahfi/18: 67).
Nabi Musa AS agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon guru yang baru dijumpainya mengerti kalau dia tidak sanggup untuk bersabar. Nabi Musa AS kembali menjawab: “Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun” (QS. al-Kahfi/18: 69).
Akhirnya Nabi Musa AS diterima sebagai murid, tetapi ketentuan pertama yang harus dipenuhi Nabi Musa AS dari gurunya ialah: “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al-Kahfi/18: 70).
Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas. Dan, keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Nabi Musa AS, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu.
Dalam Al-Qur’an dibahasakan Nabi Musa AS menaruh harapan besar untuk diterima menjadi murid, Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al-Kahfi/18 66).
Nabi Musa AS pun spontan menyatakan keberatannya: “Mengapa kamu melubangi perahu itu, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar” (QS. al-Kahfi 18: 71).
Pertanyaan Nabi Musa AS yang walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, tetapi sang guru menganggap sikap batin yang mendorongnya mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu laduni (QS. al-Kahfi/18 : 65), lalu gurunya memberikan teguran: “Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” (QS. al-Kahfi/18: 72).
Menyadari kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Nabi Musa AS memohon maaf kepada gurunya: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. al-Kahfi/18: 73). © (Bersambung/goes)