OLEH : PROF DR KH NASARUDDIN UMAR MA
ROH sifatnya tinggi dan cenderung dekat dengan Allah SWT. Raga sifatnya rendah dan jauh dari Allah. Roh itu terang, sedangkan raga gelap. Para sufi mengungkapkan, “Wahai raga, sibukkan dirimu dengan shalat dan puasa. Wahai kalbu, sibukkan dirimu dengan bisikan munajat kepada Allah SWT. Wahai raga, ungkapkan iyyaka na’budu. Wahai kalbu, ungkapkan iyyaka nasta’in.”
Taabbud mendaki ke atas, sedangkan istianah turun ke bawah. Yang melakukan taabbud adalah hamba, sedangkan isti’anah adalah Tuhan. Siapa yang naik akan memancing yang di atas untuk turun menyambut. Kalau tidak pernah naik, jangan harap ada yang turun. Indah perjumpaan itu.
Ada ketakutan dan ada harapan. Kadang kita takut kepada Allah, tetapi juga kita berharap. Ada al-khasya dan ada al-raja. Di balik ketakutan sehabis berdosa, ada harapan kita akan diampuni, ada keinginan bersama Allah kembali.
Di sinilah arti penting institusi tobat. Seperti pendaki gunung yang tak pernah bosan, naik ke atas terperosok ke bawah, naik lagi, terperosok dan naik lagi.
Ada ketakjuban dan ada keakraban. Ketakjuban itu ada jarak. Untuk mengagumi suatu objek, kita harus mengambil jarak dari objek itu. Indahnya sebuah lukisan hanya akan terasa jika kita agak jauh dari lukisan itu. Keakraban itu tidak ada jarak atau sangat dekat sekali. Inilah perumpamaan kita dengan Tuhan. Akrab, tetapi takjub.
Ada pemusatan dan ada penyebaran. Allah Maha Esa. Kita fokus ke situ. Akan tetapi, apa yang dilihat pancaindra itu beragam dan beraneka. Namun, semuanya terhubungkan dengan Allah. Warna-warni yang kita lihat di alam semesta ini sumbernya satu, Allah Yang Esa.
Ada kehadiran dan ada ketiadaan. Ini lebih menukik. Satu sisi kita merasakan Allah hadir dalam diri kita, di sisi lain hampa. Kadang kita kosong, kadang penuh. Kadang Dia muncul, kadang tiada. Dia adalah Maha Ada meski tak terlihat. Dan yang terlihat ini sebetulnya adalah manifestasi dari Yang Ada. Ketiadaan di sini bukan berarti menafikan.
Ada kemabukan dan ada kewarasan. Yang bisa memabukkan bukan hanya alkohol dan Narkoba. Ada mabuk positif dan ada mabuk negatif. Mabuk bagi seorang sufi adalah super sadar (di atas kesadaran). Kesadaran seperti itu susah dijelaskan.
Ketika kita sedang bermesraan dengan Allah, menangis di atas sajadah, terisak-isak, orang lain mungkin melihat kita sedang tidak sadar. Akan tetapi, sebenarnya kita sangat sadar, bahkan kita sedang berada di puncak bersama Allah.
Ketika mencintai seseorang saja kita bisa mabuk, begadang semalaman, membuat surat, dan lain-lain. Berkhayal, berimajinasi, membayangkan si dia hadir bersama kita. Bagaimana mabuknya kalau kita mencintai Allah?
Seorang sufi yang sedang mabuk kepada Allah suka mengungkapkan ucapan-ucapan yang terdengar aneh di mata orang lain (syuthuhat). Misalnya, “Tak ada di dalam jubahku ini selain Allah.” Berarti dalam jubah itu ada dua sosok yang bergumul menjadi satu, hamba dan Tuhan. Atau ungkapan subhani subhani (Mahasuci Aku). Aku adalah Allah, Allah adalah aku.
Aku ini siapa? Tak ada. Yang ada hanyalah Allah. Hanya Allahlah yang wujud. Selain itu hanya efek dari yang wujud.
Ada penafian dan ada penetapan. Kadang kita ragu, benarkah yang datang di dalam kalbu ini Allah? Jangan-jangan bukan, melainkan hanya imajinasi saja. Di sini terjadi pertentangan antara rasio dan rasa.
Maka, untuk meyakinkan, kecilkan rasio dan besarkan rasa. Yakinilah bahwa kita telah mendaki dan kita sudah sampai puncak, maka yang kita jumpai pastilah Allah. Maka akan ada penampakan. Dan segala rahasia ghaib pun tersibak. Allahu a’lam. © [***/goes]