Kajian Dzuhur Pilihan di Masjid Istiqlal, ALLAH SWT adalah Cahaya Langit & Bumi

OLEH : DR BUDI UTOMO L.C MA

DALAM Al-Qur’an Surat an-Nur/24 ayat 35 Allah subhanahu cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar.

Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak di sebelah barat (nya), (yang minyaknya saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Seringkali orang penasaran dengan rahasia di balik makna “nurun ‘ala nur” (cahaya di atas cahaya). Banyak yang tidak puas dengan makna literal atau tekstualnya.

Menganggap bahwa ini adalah kajian khusus dan tidak semua orang dapat memakmai ayat ini secara tepat. Karena sangat penasaran kemudian berupaya untuk mengupasnya dalam majelis-majelis khusus.

Melalui Tafsir Ibn Katsir ini, dapat dilihat bagaimana penafsiran yang mu’tabar tentang hal ini. Kita dapat melihat makna apa yang digunakan para sahabat dalam menafsirkan cahaya di atas cahaya ini.

Menurut Ibnu Abbas maknanya adalah Allah Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi. Dan, Allah juga Yang Mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya. Anas ibnu Malik menyatakan bahwa Cahaya Allah adalah petunjuk Allah.

Sedangkan Ubay ibnu Ka’b menyatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya adalah orang mukmin yang Allah telah menjadikan iman dan Al-Qur’an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat perumpamaannya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.

Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman, “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya,…” dan seterusnya. Dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan Al-Qur’an. Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan: “Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah.”

Sebagian ulama ada yang membacanya “Allahu munawwirus samawati wal ardh” Allah Pemberi cahaya langit dan bumi. Ad-Dahhak memaknai dengan “Allahu nawwaras samawati wal ardh”: Allah Menerangi langit dan bumi. Dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.

Adanya ragam qira’at ini memudahkan kita untuk memberi makna terjemah untuk “Allahu nurus samawati wal ardh” dengan Allah adalah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Pemaknaan dengan “Allah adalah Cahaya langit dan bumi akan menimbulkan syubhat, seolah Allah sama dengan makhluk-Nya. Pemaknaan dengan. “Pemberi cahaya kepada langit dan bumi” lebih mudah dipahami oleh kita semua.

Beberapa do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebutkan makna ini. Diantaranya doa qiyamullail yang diriwayatkan dalam hadis Bukhari Muslim:

Artinya: “Ya Allah, Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, Engkau penegak langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau penguasa langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau cahaya langit, bumi, dan makhluk di dalamnya”.

Dalam menafsirkan ayat-ayat ini para sahabat tidak disibukkan dengan pembahasan mengenai bagaimana bentuk lampu dan sebagainya. Namun lebih kepada makna hikmah dan metaforanya. Bahwa ini merupakan gambaran keimanan seorang hamba yang di dalam dadanya terdapat Al-Qur’an.

Mengenai sebab turun ayat-ayat ini, Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa ini adalah jawaban atas pertanyaan seorang Yahudi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang Yahudi itu bertanya tentang sifat kemurnian cahaya Allah, maka kemudian turunlah ayat-ayat ini. Allah memberikan permisalannya dalam ayat-ayat ini.

Yang banyak membuat orang penasaran adalah makna “cahaya di atas cahaya.” Ada yang menginginkan bahwa ini bisa dijadikan sebagai pengalaman batin dalam kehidupan. Ayat ini dianggap memiliki makna isyariy yang dapat diterangkan oleh orang-orang tertentu yang kompeten.

Namun dalam tafsir-tafsir mu’tabar pembahasan isyariy yang lebih jauh dari keterangan sahabat ini tidak ditemukan. Yang ditemukan adalah pembahasan yang sederhana dan tidak rumit. Nampaknya, kita harus dipuaskan dengan penafsiran ini daripada harus berspekulasi dengan makna isyariy. Pembahasan isyariy kadang bersifat filosofis yang bersifat spekulatif.

Pemaknaan cahaya dengan pemaknaan sebagai unsur yang dikenal dalam fisika, ataupun dianalogikan sebagai hidayah atau petunjuk Allah, adalah pemaknaan dan eksplorasi yang tidak membahayakan. Penafsiran yang digunakan untuk kepentingan eksplorasi sastra atau untuk memenuhi rasa penasaran bathin kadang malah tidak mengantarkan kepada penafsiran yang menambah ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Tidak sedikit orang bodoh tergelincir karena penasarannya. Seharusnya dengan Al-Qur’an seseorang bisa sampai kepada hidayah Allah. Karena penasaran dengan makna yang disebut-sebut sebagai rahasia, akhirnya masuk kepada pembahasan di kalangan terbatas. Pemahaman dari komunitas kecil yang tidak bisa diakses komunitas besar atau komunitas lainnya, sangat rentan dan berbahaya. Pemahaman mereka cenderung sulit untuk dikonfrontir dan diverifikasi.

Rasa ingin tahu dan semangat belajar itu sangat baik. Namun untuk keterangan-keterangan Al-Qur’an, sebaiknya dikembalikan kepada riwayat-riwayat yang jelas sanadnya. Tidak harus memaksakan diri untuk terpuaskan secara pengetahuan kalau memang ternyata keterangannya sangat mudah dan sederhana.

Apabila terdapat ayat yang merupakan metafora dan kiasan, yang pada penyampaian Allah berikan sentuhan sastra yang indah, maka hendaklah kita berhenti pada hikmahnya. Bukan disibukkan terlalu dalam membahas rincian rincian dari permisalannya, sebagaimana sibuk merekontruksi gambaran “mishbah” atau lampu dalam ayat-ayat ini.

Di akhir pembahasan Ibnu Katsir mengetengahkan sebuah hadis: Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa’id Al- Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alai-hi wasallam pernah bersabda:

Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir.

Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang. Sanad hadis ini berpredikat jayyid. © [***/goes]

Related posts

KKN di Rumah Ibadah, UNIVERSITAS IBNU CHALDUN JAKARTA Bikin Seminar Tema ‘Manajemen Keuangan Masjid’

Goresan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, ‘RELASI TUHAN & HAMBA’

Program ‘Hikmah’ di Masjid Istiqlal Jakarta, SELAMAT BERTUGAS Para Pemimpin Negeri