DEPOK (POSBERITAKOTA) – Kalangan praktisi pembangunan kemanusian dan akademisi menyarankan agar pembekuan bantuan United States Agency for International Development (USAID) menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah dan Non Governmental Organization (NGO).
Maka kedepannya jelas perlu meningkatkan kolaborasi menghadapi kondisi ini. Selain itu lagi hendaknya mencari alternatif donasi ke negara kaya di kawasan Timur Tengah dan negara-negara maju di Asia maupun Eropa.
Terhadap khususnya para NGO di Indonesia, seyogyanya tidak perlu panik menyikapi kebijakan Pemerintah Amerika Serikat sejak 25 Januari 2025 tersebut. Hal yang lebih penting harus fokus untuk mencari solusinya.
Begitulah benang merah dari Diskusi Publik di Auditorium Muchtar Riyadi FISIP Universitas Indonesia (UI), Rabu (12/2/2025). Momentum tersebut digelar oleh Lembaga Kemanusiaan, Human Initiative (HI) yang bekerjasama dengan APKI, HFI dan Himpunan Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP UI.
Dalam Diskusi Publik di atas hadir sebagai narasumber antara lain Konverner Aliansi Pembangunan Kemanusiaan Indonesia (APKI), Rachmawati Husein MCP PhD, Pendiri Humanitatian (HFI) Victor Rembeth dan Akademisi Hubungan Internasional (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Asra Virginia.
Diskusi Publik dibuka oleh Vice President HI, Andjar Radite. Tak ketinggalan juga dihadiri puluhan aktifis dan mahasiswa. Selain itubl juga dilaksanakan tatap muka langsung dan Webinar (web seminar).
Dikatakan Rachmawati Husein bahwa pembekuan bantuan USAID dapat menimbulkan dampak terhadap berbagai sektor pembangunan. Yakni antara lain di bidang kesehatan, pendidikan, penanggulangan bencana serta sektor kemanusiaan lainnya.
“Sebab, Indonesia tidak termasuk 10 besar negara penerima bantuan USAID. Namun di tahun 2023 lalu, menerima dana 2,5 triliun atau sekitar 153 ribu Dolar AS. Jumlah bantuan itu tidak terlalu besar. Dan, bahkan tidak signifikan bagi Indonesia,” ungkapnya, menambahkan.
Disarankan Rachmawati yang juga dikenal sebagai aktivis kemanusiaan dari DPP Muhammadiyah dan dosen salah satu perguruan tinggi di Jakarta, agar para NGO penyalur bantuan USAID hendaknya mencari ‘vitamin‘ dari negara lain.
“Oleh karenanya, perlu ada aliansi dan forum NGO untuk memberi masukan kepada Pemerintah dan DPR RI supaya dibuat aturan yang jelas tentang pengelolaan dana dari masyarakat. Perlu dibuat yang baik dan tidak ribet. Bahkan, pajak bagi para NGO pun, jangan dipatok tinggi,” ucap Rachmawati, lagi.
Sedangkan sebagai pembicara lain, Victor Remberth, mengutarakan bahwa penghentian bantuan USAID, tidak terlepas dari kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat (AS). “Malah, sayangnya sampai saat ini, belum ada penjelasan terkait penghentian bantuan USAID tersebut,” tuturnya.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana solusi kedepannya? Kemenlu RI diminta melakukan mediasi dengan semua mitra penerima dana bantuan USAID. Dari situ harus ada peluang memaksimalkan pengumpulan dana Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) yang potensinya mencapai Rp 370 triliun.
“Selain itu, para NGO juga perlu meningkatkan kerjasama dengan semua pihak. Jadi, kita tidak boleh dikalahkan dengan keadaan ini. Jangan berhenti. Sebab, kalau berhenti, berarti kita tidak membagi empati,” urainya.
Tentang bantuan USAID itu sendiri, masih menurut Victor, bukan dengan meminta-minta. “Justru pemutusan ini harus menjadi pembelajaran bersama. Dan, kita harus tetap eksis,” sarannya.
Sementara itu Andjar Radite mengatakan bahwa pemutusan bantuan USAID dapat mengancam bagi sektor kesehatan dan pendidikan. Seperti program imunisasi dan pencegahan HIV/AIDS yang selama ini mendapat pendanaan dari USAID dikhawatirkan akan terganggu.
“Jadi, jika tanpa dukungan finansial tambahan, layanan kesehatan untuk di daerah terpencil dapat mengalami kendala dalam menangani penyakit menular,” katanya.
Apalagi berdasarkan laporan WHO (2023), pendanaan internasional memlliliki peran yang sangat penting dalam pengendalian penyakit di negara berkembang.”Tentunya apabila tanpa bantuan donor seperti USAID, capaian dalam sektor kesehatan bisa mengalami kemunduran,” ungkap dia.
Ditambahkan Andjar Radite bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendiversifikasikan sumber pendanaan melalui kerjasama dengan lembaga internasional lain. Seperti dengan Bank Dunia dan Asian Develeoment Bank.
“Selain itu, kemitraan dengan sektor swasta juga dapat menjadi alternatif, dimana perusahaan – perusahaan dapat berkontribusi melalui tanggungjawab sosial perusahaan (CSR). Termasuk untuk mendukung inisiatif kemanusiaan dan pembangunan di Indonesia,” pungkasnya. © RED/AGUS SANTOSA