Kutuk Keras, SETARA INSTITUTE Sikapi Aparat Tembak Aparat & Negara Sudah Seharusnya Tegas Menegakkan Supremasi Hukum

JAKARTA (POSBERITAKOTA) – Peristiwa memilukan baru saja menggemparkan Tanah Air. Hal tersebut menyangkut kasus yang mendapat perhatian besar dari masyarakat. Yakni terkait adanya 3 anggota Polsek Negara Batin, Way Kanan, Lampung yang tewas menggemaskan.

Dipicu latar belakang bisnis haram sejenis judi sabung ayam, bikin 3 abdi negara (polisi-red) harus meregang nyawa. Bahkan harus menghadapi kejadian tragis, diberondong senjata api saat hendak melakukan penggerebekan judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Senin (17/3/2025) sore yang baru lalu.

Bahkan, tragedi berdarah itu terjadi ketika 17 personel anggota Polri dari Polres Way Kanan, diterjunkan untuk membubarkan judi sabung ayam tersebut. Namun ke-3 korban mengalami luka pada bagian kepala akibat tembakan yang diduga dilakukan oleh dua orang oknum anggota TNI.

Sedangkan pada perkembangan terbaru dari kejadian tersebut, ke-2 oknum anggota TNI yang diduga sebagai pelaku penembakan telah berhasil ditangkap. Keduanya adalah Peltu L selaku Dansubramil Negara Batin dan Kopka B, anggota Subramil Negara Bantin.

Akibat peristiwa di atas SETARA Institute melalui Ketua Dewan Nasional, Hendardi, mengutuk peristiwa kekerasan terhadap aparat oleh aparat di Way Kanan. Bentuk tindakan kekerasan dalam bentuk penembakan, apalagi hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, secara mutlak tidak dapat dibenarkan.

Ditambahkan Hendardi boleh jadi tragedi berdarah Way Kanan menengatai bahwa konflik TNI-Polri bersifat laten. Dalam Catatan SETARA Institute, tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. Pada awal tahun ini, sudah terjadi 2 (dua) kekerasan terbuka di antara dua aparat negara tersebut.

“Malah sebelum peristiwa Way Kanan, terjadi penyerangan oleh oknum anggota TNI terhadap Mapolres Tarakan. Fenomena tersebut hanyalah pucak gunung es. Konflik dan ketegangan yang tertutup dipastikan lebih besar dari yang mencuat ke permukaan,” tegas Hendardi, lagi.

Oleh karenanya, lanjut dia, SETARA Institute mendesak agar pelaku penembakan di Way Kanan, diproses dengan penegakan hukum dan mekanisme hukum pidana. Kenapa? Karena tindakan pelaku tidak ada hubungan sama sekali dengan tugas-tugas kemiliteran, sebagaimana ketentuan UU TNI yang memandatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diproses dalam kerangka pidana umum.

Menurutntackapasitas negara, khususnya pemerintah, mesti hadir dengan menegakkan supremasi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Supremasi anggota TNI yang sering tidak mau tunduk pada peradilan umum selama ini menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa.

“Namun selama ini, kehadiran negara dalam konflik TNI-Polri hanya bersifat simbolik, elitis serta tidak mengedepankan supremasi hukum. Untuk di tingkat elit dan kelembagaan TNI-Polri, kondusivitas dan sinergi dilakukan secara artifisial dengan terus mendengungkan Sinergisitas atau Sinergitas TNI-Polri,” telaah Hendardi.

Dalam pandangan Hendardi bahwa sementata secara lebih substantif, negara dan TNI-Polri sendiri harus membangun karakter dan mentalitas TNI-Polri dengan pendekatan yang lebih sistemik, struktural dan kultural sekaligus.

“Penanganan konflik dan ketegangan antara TNI-Polri harus dilakukan secara substantif dan fundamental dengan membangun kepatuhan anggota TNI-Polri pada disiplin bernegara dan berdemokrasi yang dibangun di atas supremasi hukum dan supremasi sipil,” imbuh Hendardi.

Pada sisi lain, kata Hendardi, TNI-Polri harus menjalankan peran masing-masing dengan tunduk pada konstitusionalisme dan desain konstitusional yang disepakati, dimana masing-masing lembaga harus menjalankan perannya dengan tidak melampaui batas-batas tugas dan fungsi sesuai mandat konstitusionalnya.

Yang tak kalah penting, diungkap Hendardi, peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga mesti dialamatkan pada politisi-politisi sipil. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri untuk memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya, yang justru mengekspresikan ketidakpercayaan diri dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka sebagai otoritas sipil.

“Politisi di DPR harus disiplin untuk tidak melaksanakan fungsi legislasi yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945. Apalah hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu. Hal itu justru akan menimbulkan kekacauan konstitusional dan memicu konflik antar institusi yang semakin dalam,” pungkas Hendardi melalui keterangan tertulisnya yang dikutip POSBERITAKOTA, Rabu (19/3/2025). © RED/AGUS SANTOSA

Related posts

Bareng JPKP & Yayasan Pesantren Ar-Risalah, BAPANAS Gelar Gerakan Pasar Murah Sebagai Bukti Perekonomian Indonesia Tetap Stabil

Selama 30 Tahun Eksis di Masyarakat, KETUM EDDIE KARSITO Sebut Yayasan Humaniora Butuh Kritik & Bikin Sayembara Menulis

Sekjen KITA, CAMELIA LUBIS : Pelantikan Pengurus KITA 2025 – 2030 Jadi Tonggak Awal Menuju Indonesia Emas