OLEH : AGUS SANTOSA
KEBERADAAN masjid dalam pengelolaannya sebagai tempat ibadah harus bersikap terbuka. Siapa pun baik sebagai jamaah maupun warga masyarakat yang tinggal di sekitarnya memiliki hak sama. Apalagi masjid tersebut diketahui milik lingkungan, karena mendapat kontribusi dana pembangunannya dari koletif jamaah atau warga masyarakat melalui kelembagaan resmi setingkat RT maupun RW.
Artinya, keberadaan masjid tersebut, clear (kata sepakat) atas biaya sumbangan masyarakat. Bukan didirikan atas dasar tanah infaq dari seseorang, termasuk pembiayaan atau pengelolaannya. Kalau didirikan (berdiri) perorangan, biasanya dalam bentuk yayasan dan sekaligus jadi nama masjid. Berbeda halnya jika dikelola oleh satu lembaga (DKM) dan atau dibawah Yayasan yang baru didirikan setelah masjid berdiri, dipastikan bersifat umum.
Peranan unsur pimpinan DKM atau Yayasan, juga bersifat sementara yang ada kurun waktunya (periodesasi-red) di dalam mengemban amanah. Oleh karenanya, keberadaan masjid tidak boleh dikelola secara ‘Eksklusif’. Atau, dikuasai oleh sekelompok, tanpa tahu akan fungsi dan peranan untuk mengemban amanah secara ideal di mata warga masyarakat atau jamaah.
Sebab, jika terjadi pengelolaan secara ‘Eksklusif‘, maka bakal muncul ‘penguasaan‘ fisik masjid secara berlebihan. Terlebih dengan munculnya sosok yang merasa ‘membangun masjid‘ (seolah dikultuskan) – meski bukan atas biaya pribadinya – jelas merupakan bentuk sikap yang salah kaprah. Malah kedepannya bakal jadi preseden buruk.
Sosok pimpinan di DKM atau Yayasan yang terkait dalam hal pengelolaan masjid, seyogyanya memahami pengelolaan dengan prinsip ‘Inklusif‘. Dimana membangun dan mengelola dengan kebersamaan, merangkul banyak pihak, meski secara personal (individu) tak berada dalam kepengurusan kedua lembaga (DKM/Yayasan) tersebut.
Seyogyanya apabila sudah memiliki keberadaan DKM/Yayasan, ya harus dipahami sebagai lembaga atau organisasi. Termasuk kepemilikan AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) yang bakal mengatur mulai dari apa yang menjadi peran ketua, sekretaris, bendahara sampai ke jajaran ketua seksi/bidang.
Kenapa AD/ART itu perlu? Iya, agar tidak saling berbenturan, karena mengatur soal fungsi dan tugas masing-masing. Termasuk jika ada program tertentu, ya harus dimusyawarahkan lebih dulu agar clear. Jangan sampai sebuah program ingin dieksekusi (dilaksanakan), tapi pengurus yang levelnya lebih tinggi (ketua atau pengawas), malah dilangkahi.
Buat apa ada Ketua DKM/Yayasan atau jajaran pengawas, jika tidak bisa turut menentukan atau minimal ikut memberikan kontribusi pemikiran, agar hal-hal yang terkait dengan masjid bisa clear alias ada kata sepakat lebih dulu. Baik itu terkait dengan pembangunan maupun upaya pengembangan sarana prasarana masjid itu sendiri.
Apalagi yang paling urgent terkait pembangunan, idealnya memang harus melalui proses musyawarah dari lembaga terkait lingkungan. Bukan cuma DKM/Yayasan, peranan RW dan RT-RT pun yang bakal menggerakkan penggalian dana di masyarakat, tak boleh dikesampingkan begitu saja. Ada musyawarah dan kata mufakat merupakan hasil keputusan ideal, agar di kemudian hari tak terjadi saling protes.
Kembali ke soal pengelolaan yang bersifat ‘Inklusif‘, juga patut dipahami bersama. Baik pimpinan DKM maupun Yayasan, juga harus aspiratif dan respon – terhadap upaya siapa pun yang punya niat atau ingin ikut ‘memakmurkan‘ masjid. Jangan sampai keluar omongan, orang lain atau bahkan pengurus tengah menggerakkan pengajian/yasinan anak-anak setiap Kamis malam Jumat, malah dibilang karena ingin cari nama saja!
Sementara itu pimpinan DKM justru sama sekali tak respon mensupport. Padahal, kegiatan itu dipimpin oleh sesepuh lingkungan, ustadz yang sejak awal terlibat saat masih berbentuk mushola hingga akhirnya berdiri masjid. Bahkan, sudah ada surat dari lembaga, agar wilayah masjid bisa digunakan untuk kepentingan tersebut. Ada kesan kalau bukan kelompoknya, tak bakalan disupport.
Begitu pula adanya kegiatan ibadah sosial keagamaan lain yang dilakukan oleh warga masyarakat atau jamaah masjid, justru sama sekali tak mendapat support. Nah, cara atau sikap semacam itu, tak salah jika masjid justru diurus atau dipimpin oleh sosok dengan cara ‘Ekslusif’.
Yang patut dipahami pula, jika masjid milik lingkungan dan dikelola lembaga DKM atau Yayasan, tak lepas dari sorotan warga masyarakat. Bahkan, bukan cuma butuh kritikan atau masukan dari ‘internal‘ saja. Datangnya bentuk kritikan dari faktor ‘eksteral’ (luar-red) – jangan kemudian ‘ditabukan‘ alias tak boleh!
Sebagai penutup opini tulisan di atas, tak salah pula jika patut memahami apa itu arti dari ‘Inklusif‘. Kata ‘Inklusif berarti termasuk semua orang, tanpa memandang perbedaan latar belakang, kemampuan atau status. Hal itu juga merupaka konsep yang menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam suatu lingkungan atau kegiatan, dan menekankan pentingnya menghargai maupun menerima perbedaan.
Selain itu ‘Inklusif’ juga memiliki arti tidak mengecualikan atau menyingkirkan orang lain, melainkan membuka diri dan menerima semua orang. Dalam konteks sosial, ‘Inklusif‘ sama halnya dengan menerima dan menghargai perbedaan etnis, budaya, agama dan kemampuan. (***)
(PENULIS : Agus Santosa adalah Pemerhati Masalah Sosial Keagamaan dan Organisasi. Masih aktif sebagai wartawan, kini tinggal di Bekasi)