Begitu pun sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh makhluk serta sifat-sifat yang secara lafaz dapat dimiliki oleh keduanya, namun dengan hakikat yang sangat berbeda.
Gambaran tersebut di atas disampaikan Ustadz H. Fitrian Nabil L.c dalam khotbahnya selaku imam dan khotib, dihadapan ratusan jamaah yang memadati pelaksanaan sholat Jum’at di Masjid Jami Al-Ikhlas RW 025 Perumahan Villa Gading Harapan (VGH) Gerbang Timur, Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jumat (23/5/2025).
Dijabarkan Ustadz Nabil lebih lanjut seraya mencontohkan bahwa sifat seperti Qidam (tidak bermula) dan Baqa (kekal) adalah sifat yang khusus bagi Allah SWT. Sedangkan untuk makhluk, memiliki sifat Huduts (baru diciptakan) dan Fana (akan musnah).
“Meski demikian, Allah SWT mempersilakan makhluk-NYA untuk meneladani sifat-sifat keindahan-NYA. Sebut saja seperti rahmat, adil, hikmah, sabar yang kemudian menjadikannya sebagai akhlak,” paparnya seraya melanjutkan khotbahnya.
Kendati demikian, sebut Ustadz Nabil lagi ada satu sifat yang tidak boleh dimiliki oleh manusia. Apa itu? Yakni yang secara potensi manusia bisa, yaitu sombong (kibr). Lantas, apa makna dari sombong itu sendiri?
Melanjutkan khotbahnya yang sangat menyentuh kalbu, Ustadz Nabil pun menyebutkan bahwa dari hadis ini, kita memahami bahwa sombong bukan sekadar perasaan bangga, tapi adalah dua hal utama.
Pertama, Batarul Haqq (menolak kebenaran). Kedua, Ghamthun Naas (merendahkan manusia). “Kesombongan adalah pakaian keagungan yang hanya layak disandang oleh Allah SWT,” urainya.
Yang artinya :“Keagungan adalah kainKu dan kesombongan adalah selendangKu. Siapa yang mengambilnya dariKu, akan Aku lemparkan dia ke dalam neraka.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).
Ustadz Nabil kemudian menyebut macam-macam kesombongan :
Kedua, sombong terhadap manusia. Merasa lebih tinggi dan memandang rendah sesama. Contohnya adalah Qarun yang membanggakan hartanya dan menolak bahwa itu semua dari Allah SWT.
Bahkan. Rasulullah ﷺ pun melarang memanjangkan pakaian melebihi mata kaki, karena menunjukkan kesombongan. Jadi, bukan semata soal panjang celana.
Ketiga, sombong terhadap kebenaran. Menolak kebenaran meskipun telah nyata. Abu Jahal dan para pembesar Quraisy mengetahui bahwa Rasulullah SAW adalah benar, namun karena gengsi dan kesombongan, mereka menolaknya.
Selanjutnya, Ustadz Nabil pun memaparkan bagaimana ciri-ciri orang yang sombong. Yang meliputi :
1. Berusaha tanpa doa. Merasa segala keberhasilan adalah hasil usaha sendiri tanpa campur tangan Allah SWT.
2. Memilih-milih dalam membantu. Hanya membantu orang yang memiliki status lebih tinggi atau sejajar, kemudian mengabaikan yang miskin dan lemah.
3. Memandang rendah orang lain. Tidak menghargai pendapat dan keberadaan orang yang dianggap ‘lebih rendah’.
4. Menolak kebenaran jika datang dari yang lebih rendah. Tidak mau menerima nasihat atau kebenaran, jika tidak datang dari orang yang dianggap setara atau lebih tinggi.
Bagaimana balasan bagi orang sombong? Disebutkan Ustadz Nabil bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kesombongan adalah penghalang utama masuk surga. Bahkan, meskipun hanya sebesar dzarrah (partikel terkecil). Sebab, kesombongan merupakan sifat yang halus dan tersembunyi,” urai Ustadz Nabil.
Sedangkan sifat tersebut sangat halus dan samar. Ibn ‘Athaillah berkata: “Barang siapa yang mengaku dirinya rendah hati (tawadhu’), maka ia sebenarnya adalah orang yang sombong.”
Bahkan, disebutkan Ustadz Nabil bahwa kesombongan bisa menyelinap dan bahkan dalam ibadah maupun amal. Merasa lebih alim, lebih shalih, lebih dermawan. Hal itu pun, bisa menjadi bentuk kesombongan, jika tidak disadari.
Selanjutnya, Ustadz Nabil menyebutkan diri kita patut belajar dari sosok Fir’aun dan Qarun. Jika Fir’aun yang kekuasaannya begitu luas dan juga Qarun yang hartanya begitu melimpah, kemudian dihancurkan oleh Allah SWT. Kenapa? Iya, karena kesombongannya.
“Maka, bagaimana dengan kita? Jabatan hanya sedikit lebih tinggi, harta hanya sedikit lebih banyak, ilmu hanya sedikit lebih dalam, tapi sombongnya sudah melampaui batas. Na’udzubillah,” urainya, lagi.
Sebagai penutup khotbahnya, Ustadz Nabil mengingatkan meski rendah diri, bukan berarti merendah. Kesombongan bukan hanya dosa besar. Tapi juga penghalang bagi ilmu, akhlak dan hidayah.
“Namun sebaliknya, tawadhu’ adalah jalan menuju kemuliaan. Maka, jangan sampai sifat yang hanya layak bagi Allah SWT ini kita tiru. Biarlah kesombongan menjadi surban-NYA. Dan, kita hanya layak untuk merendah dihadapan-NYA, juga kepada sesama manusia,” ucap Ustadz Nabil, menutup khotbahnya. © RED/AGUS SANTOSA