27.9 C
Jakarta
21 June 2025 - 11:10
PosBeritaKota.com
Opini Syiar

Kini Saatnya Menata Ulang dari Akar, KRISIS JAMA’AH MUZDALIFAH & Fiqh Kemaslahatan

OLEH : AHMAD EL MUTAWAKKEL

MALAM 10 Dzulhijjah, tanah Muzdalifah seharusnya menjadi tempat jeda dan ketenangan setelah wukuf di Arafah. Tapi tahun ini, yang terjadi justru sebaliknya : Jeritan jamaah, kelelahan yang akut, tubuh-tubuh yang terkapar pingsan di lapangan dan pinggir jalan, dan gelombang manusia yang berjalan tanpa arah dari padang Arafah menuju Mina, karena bus-bus yang seakan menghilang dalam kegelapan.

Saya menyaksikan sendiri : Banyak jamaah Indonesia terlantar tanpa kepastian. Mereka bukan hanya kekurangan air, tetapi juga kehilangan arah. Mereka tidak tahu apakah akan dibimbing ke Mina, atau hanya diminta berjalan sendiri seperti kafilah tanpa pemimpin. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan tidak tahu di mana letak kemah mereka karena tak kunjung tiba atau tak tersedia tempat.

Kita tidak sedang membicarakan kekacauan kecil. Kita sedang menghadapi bottleneck besar di Muzdalifah – yang sebenarnya sudah terlihat sejak lama namun terus diabaikan. Area eksisting Muzdalifah telah mengalami overcrowded akut, tidak lagi mampu menampung jutaan jamaah dalam waktu yang sempit.

Tidak ada ruang parkir bus yang memadai, alur evakuasi yang tidak lagi realistis, dan manajemen kerumunan berlangsung tanpa desain yang efektif dan efisien. Yang terjadi bukan lagi pelaksanaan ibadah, tapi seakan-akan hanya percobaan logistik darurat yang membiarkan jamaah berjalan sendiri dalam keletihan dan kebingungan yang menyakitkan.

Karenanya, murur (melintas tanpa mabit penuh di Muzdalifah) bukan lagi semata-mata dispensasi bagi yang sakit dan lansia. Murur kini menjadi kebutuhan syar‘i untuk menyelamatkan jiwa jamaah yang sehat sekalipun. Fiqih kita mengajarkan bahwa ketika nyawa manusia terancam oleh kondisi yang tidak terkendali, maka keselamatan jiwa menjadi prioritas hukum, bahkan di atas banyak kewajiban lainnya.

Sebagaimana ditegaskan Imam al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa :

والمصلحة هي جلب المنفعة أو دفع المضرة، وليس لها ضابط إلا بملاحظة مقاصد الشريعة

“Maslahat adalah mendatangkan manfaat atau menolak bahaya, dan tidak ada batasannya kecuali dengan memperhatikan tujuan-tujuan syariat.”

Dalam kondisi seperti ini, masolih mursalah bukan sekadar dalil pelengkap. Ia menjadi fondasi keberlangsungan ibadah itu sendiri. Maqosid syari’ah meletakkan hifz an nafs (menjaga jiwa) sebagai asas etika hukum, bukan bonus.

Tahun depan, murur seharusnya diterapkan kepada minimal 75% jamaah di setiap kloter, bukan lagi minoritas akan tetapi menjadi mayoritas. Tapi agar ini tidak menjadi solusi sementara yang melanggengkan kekacauan, dua hal harus dibenahi :

1. Solusi struktural untuk bottleneck Muzdalifah, dengan rekayasa ruang seperti levelisasi (dibuat bertingkat) agar arus bus dan kerumunan tidak saling menindih.

2. Penambahan armada bus murur oleh syarikah yang tahun ini terkesan tidak transparan dan tidak rasional dalam penempatan transportasi.

Namun masalah bukan hanya infrastruktur. Ada krisis manajemen jama’ah yang jauh lebih dalam.

Banyak jamaah yang tidak tahu hukum haji mereka, tidak tahu niat yang harus dilafazkan, tidak tahu mana yang rukun, mana yang wajib. Sebab apa? Karena rasio pembimbing KBIHU saat ini hanya 1:135, angka yang jelas tidak masuk akal jika ingin menjangkau jutaan jamaah dengan kebutuhan spiritual dan teknis yang kompleks. Maka sudah saatnya diperbaiki menjadi 1:40, agar bimbingan lebih menyeluruh, menyentuh dan manusiawi.

Bukan hanya jumlah, tapi sistem juga harus diubah. Posisi pembimbing kloter, yang selama ini seperti formalitas birokratik dengan fungsionalitas yang kurang efektif dan efisien di lapangan, harus dihapuskan. Gantinya adalah sistem presidium pembimbingan dari unsur-unsur KBIHU yang terbukti memahami manasik dan memahami manusia. Mereka bukan sekadar tahu teori, tapi hidup bersama jamaah dari awal hingga akhir.

Dan, bahkan lebih jauh lagi, ketua kloter seharusnya tidak lagi ditentukan dari barisan birokrat yang hanya turun setahun sekali. Jabatan ini sudah waktunya dibuka bagi masyarakat umum berdasarkan meritokrasi dan integritas, agar kloter tidak terjebak oleh sistem yang tidak terkoneksi dengan kebutuhan kebutuhan fundamental jama’ah haji.

Sebagai langkah akreditasi penting, semua pembimbing KBIHU harus bersertifikat nasional. Jika tidak, maka ia tidak layak membimbing jamaah yang sedang menapaki jalan paling suci dalam hidupnya. Aturan ini harus diimplementasi secara super ketat, agar jangan sampai ada pembimbing KBIHU yang kualitasnya jauh dari standar keilmuan.

Dalam konteks inilah, kita juga harus berani mengkritisi eksistensi jamaah mandiri yang semakin dilegalkan tanpa pengawasan yang cermat. Padahal, banyak dari mereka justru menjadi korban saat krisis Arafah, Muzdalifah, hingga Mina, karena tidak dibimbing oleh KBIHU atau lembaga manasik yang terstruktur. Secara emporis, sebagian besar dari mereka tidak cukup memiliki istitho’ah dalam aspek pengetahuan dan kesiapan ruhani.

Istitho’ah itu bukan hanya fisik dan finansial, tapi juga ilmu. Dan inilah yang sering dilupakan ketika semangat mandiri justru menciptakan kemandegan spiritual.

Sudah saatnya negara meninjau ulang skema haji mandiri. Bila perlu, diterapkan tes istitho’ah manasik dasar bagi jamaah non-KBIHU. Jika tidak lulus maka dia harus ikut KBIHU. Dan lebih penting lagi : Dikampanyekan secara nasional bahwa :

“Ibadah Bersama KBIHU Lebih Nyaman dan Tenang.”

Karena haji bukan sekadar perjalanan administratif. Ia adalah ibadah sakral yang butuh ilmu, ketenangan, dan pembimbing yang hidup bersama umat.

Malam itu, saya melihat jamaah bukan hanya tersesat secara fisik, tapi juga secara spiritual. Mereka lelah, bingung, dan sendirian. Sementara para penanggung jawab berpikir sistem mereka sudah “berhasil”.

Maka saya katakan: jika fiqih tidak menyentuh kenyataan, ia hanya menjadi aturan kaku dan hafalan mati. Tapi ketika maqosid syari’ah diterapkan untuk menata ulang sistem, barulah haji menjadi ibadah yang hidup dan menyelamatkan.

Kini saatnya kita berkata jujur : Muzdalifah sedang mengalami perpetual management’s crisis, dan yang menderita adalah jama’ah haji. Jika kita menunda perbaikan, maka yang kita langgar bukan hanya manasik, tapi maqasid itu sendiri. (***/goes)

(PENULIS : AHMAD EL MUTAWAKKEL adalah Mutawakkil Abu Ramadhan II, kini tinggal di Jakarta)

Related posts

Bicara Soal Keberadaan Masjid, USTADZ AHMAD RIFA’I Ingatkan Jangan Dijadikan Sebagai Ajang Bisnis

Redaksi Posberitakota

Saat Khutbah Jum’at di Istiqlal, DR. KH. IMAM ADDARUQUTNI Bahas Pelestarian – Pemeliharaan serta Pengelolaan Lingkungan Hidup ala Rasulullah SAW

Redaksi Posberitakota

Hj Elva Waniza Gelar Open House ‘Minal Aidin Wal’faidzin’ di Hari Kedua Idhul Fitri 1443 Hijriah

Redaksi Posberitakota

Leave a Comment

Beranda
Terkini
Trending
Kontak
Tentang