JAKARTA (POSBERITAKOTA) –
Majelis Ulama Indonesia (MUI) siap beri dukungan terkait mencuatnya wacana pembatasan usia terhadap pengguna media sosial (Medsos). Apalagi pemikiran tersebut amat positif guna membatasi penggunaaan Medsos untuk anak di bawah umur.
“Jadi, saya pikir memang sudah saatnya Indonesia membatasi penggunaaan media sosial untuk anak remaja dan anak yang di bawah umur,” tegas Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, seperti dilansir POSBERITAKOTA dari situs resmi MUI, Senin (16/12/2024).
Sedangkan terkait wacana itu sendiri, mengemuka ketika digelar ‘Seminar Regulasi Penggunaan Media Sosial yang Aman dan Produktif‘ oleh MUI Pusat Dakwah Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI Pusat, Jumat (13/12/2024) yang baru lalu.
Turut hadir dan tampil sebagai pembicara di acara seminar tersebut antara lain Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) RI Kawiyan dan Dirjend Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital RI Molly Prabawaty
Menurut Kiai Cholil bahwa Australia patut menjadi contoh negara yang mengambil langkah cepat dalam melindungi generasi mudanya dari bahaya pengaruh Medsos. Padahal seperti diketahui bersama bahwanegara itu terbilang liberal, dibanding dengan Indonesia.
Dalam pandangannya lebih lanjut bahwa pembatasan bagi penggunaan Medsos di tempat tertentu, juga telah diatur sedemikian rupa. Tentu saja demi tak mengganggu produktifitas kerja dari masyarakat.
Pada gelaran Seminar Medsos tersebut, Kiai Cholil memaparkan Fikih Medsos yang berisikan prinsip interaksi dan komunikasi dalam media sosial.
Kata dia yang pertama adalah prinsip dasar tentang informasi (fiqhu asas al-Akhbar). Ini pemahaman dasar tentang berita yang wataknya adalah kemungkinan berita itu benar dan kemungkinan salah.
“Hal itu pemahaman dasar tentang berita. Juga yang sifatnya (mengidentifikasi) informasi itu apakah baik atau berita buruk,” urai Kiai Cholil, lagi.
Sedang yang kedua, yakni prinsip sumber berita (fiqhu mashadirul akhbar). Memahami betul validitas informasi sehinga selalu melalui proses validasi dan verifikasi (tabayyun) dari setiap informasi yang diterima.
“Tentu saja banyak cara untuk tabayyun, seperti memastikan sumber beritanya dari orang atau lembaga terpercaya atau menggunakan aplikasi kroscek berita,” imbuhnya.
Sedangkan yang ketiga, prinsip memperlakukan berita (fuqhu al-ta’mul bi al-akhbar), yaitu menyikapi berita dan memperlakukan informasi.
Masih menurut pendapatnya bahwa tak semua berita yang benar itu baik, apalagi berita hoaks. Maka itu bagi penerima berita harus mampu memilih dan memilah informasi yang baik dan berfaedah untuk menjadi pijakan atau disebarkan.
Karena itulah, Kiai Cholil pun menawarkan dua model saringan yang efektif terutama di dalam memperlakukan berita, yaitu diri penerima berita yang pintar dan bijak, dan regulasi yang mengatur terhadap serapan dan penyebaran informasi.
“Pada intinya, justru di era banjirnya informasi ini, perlu ada filter. Tujuannya agar berita-berita yang muncul dan banyak bertebaran lewat Medsos, bisa menjadi kebaikan dan kita semua terhindar dari malapetaka,” pungkasnya. © RED/FATHONIE AG/EDITOR : GOES