POSBERITAKOTA (JAKARTA) – Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta (KATAR) Sugiyanto menyebutkan keliru dengan adanya anggapan Pilkada Serentak 2024 karena memiliki kepentingan menjegal Anies Baswesdan maju kembali pada pencalonan Gubernur DKI Jakarta periode 2022-2027. Yang benar, karena itu memang sudah merupakan perintah dari Undang-Undang (UU).
Pria yang akrab dipanggil dengan sebutan SGY tersebut, juga menilai bahwa ketentuan aturan Pilkada Serentak tahun 2024 justru sudah ada sebelum Anies Baswesdan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang.
Dalam pandangan dia terkait aturan dalam UU No 10 Tahun 2016 tersebut, disahkan pada tanggal 1 Juli 2016. “Sedangkan Anies Baswesdan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 16 Oktober 2017. Jadi, keliru jika kemudian ada anggapan Pilkada Serentak 2024 itu untuk menjegal Anies Baswesdan. Karena itu kan memang sudah merupakan perintah dari Undang-Undang,” ucap SGY kepada POSBERITAKOTA, Sabtu (29/1/2021) pagi tadi.
Dijelaskan SGY lebih lanjut bahwa ketentuan tentang Pilkada Serentak dapat dilihat dalam UU No 10 Tahun 2016 tersebut, yaitu pada Pasal 201. Uraiannya dapat dilihat pada ayat (1) sampai dengan ayat (12). Pada ayat (1) disebutkan bahwa Pemungutan Suara Serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
Kemudian pada ayat (2) dijelaskan bahwa Pemungutan Suara Serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017. Pada ayat (3) diuraikan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
Sedangkan pada ayat (4) dalam UU No 10 Tahun 2016 itu di sebutkan bahwa Pemungutan Suara Serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018.
Masih kata SGY bahwa di dalam UU No 10 Tahun 2016 tersebut, pada pasal 201 ayat (5) nya disebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. Lalu pada ayat (6) berbunyi Pemungutan Suara Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.
Kemudian, pada ayat (7) dalam pasal 201 itu dijelaskan, yaitu; Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024. Sedangkan pada ayat (8) nya dikatakan bahwa Pemungutan Suara Serentak Nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Tentang jabatan kosong di situ dijabarkan dalam UU No 10 Tahun 2016 pada Pasal 201 ayat (9), yaitu berbunyi untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan Serentak Nasional pada tahun 2024.
Pada ayat (10) pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tersebut menguraikan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu pada pasal (11) nya disebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada ayat (12) ditegaskan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan KPU.
Namun untuk UU No. 10 Tahun 2016 ini sekarang sedang dibahas untuk direvisi di DPR-RI dan menimbulkan pro dan kontra. Bila terjadi revisi untuk penundaan Pilkada Serentak pada tahun 2027, maka DPR-RI akan dianggap tak konsisten dengan keputusannya sendiri. “Jadi, jelas Pilkada Serentak itu merupakan perintah Undang-Undang. Bukan untuk menjegal siapapun,” ujar SGY, panjang lebar.
Terlebih lagi, dalam pandangan SGY, imi merupakan konsekuesnsi dari Keputusan Mahkamah Konstitusi ( MK) No. 55/PUU-XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum MK pada angka [3.16] menjabarkan model alternatif kesetaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada digabungkan kedalam kesetaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselengarakan serentak setiap 5 tahun sekali. ■ RED/AGUS SANTOSA